JALAN CU BAKAL BERLIKU

Kemarin, di sela-sela makan siang bersama 22 peserta SK3, aku berbincang dengan Lusi. “Sekarang ini, aturan baru dari negara bermunculan. Belum selesai yang satu datang lagi yang baru. Kita seperti berlomba dengan waktu,” katanya.

Lusi tampak lelah. Ia berada di garis depan, mempelajari satu per satu regulasi koperasi simpan pinjam—datangnya seperti salju yang terus-menerus turun dari langit. Lalu ia harus menyampaikan itu kepada CU agar mereka bergerak cepat.

“Begitukah?” kataku pelan. Aku memang bukan lagi pengurus. Semua itu sudah menjadi masa lalu.
Tapi aku tetap merasa gerah. Jangan-jangan nanti banyak CU lain ikut berguguran—senasib dengan Clongchan Credit Union di Thailand. CU itu dulu besar, bahkan sempat menjadi tujuan studi banding. Namun tak lama setelah euforia itu, CU ini disuspensi oleh negara, lalu dinyatakan pailit.

Di samping aku dan Lusi, duduk dua orang pengawas yang ikut nimbrung dalam percakapan.
“Tidak apa-apa,” kataku, berusaha menenangkan suasana. “Segalanya akan berubah. Bagaimana kalau kita kelola perguruan tinggi seperti yang dilakukan ITKK—padat dengan regulasi?”
Sebenarnya, aku hanya ingin meredakan ketegangan yang mulai terasa di kepala.

Risiko regulasi yang dihadapi setiap CU memang harus diantisipasi dan diwaspadai. Ini bisa menjadi fakta brutal, seperti yang dikatakan Jack Welch, mantan CEO General Electric. Fakta brutal harus dihadapi dengan kesabaran dan ketangguhan.

Dalam pandangan Rhenald Kasali, kita perlu menggunakan strategi landak—fokus pada inti kekuatan dan bertahan dengan kejelasan arah. Namun, CU yang lengah akan menghadapi risiko serius. Merger atau amalgamasi bisa menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.

Pertanyaannya sekarang: apakah Puskhat sudah siap jika ada CU yang terpaksa harus merger atau amalgamasi karena tekanan regulasi?

CU Keling Kumang (CUKK) pernah melakukan merger terhadap tiga CU, yaitu CU Tuah Menua, CU Tani Mandiri, dan CU Saran Mandiri. Proses ini sebenarnya dilakukan dengan setengah terpaksa.

Salah satu alasan utama CUKK menerima penggabungan tersebut adalah karena dana anggota di ketiga CU itu dalam kondisi “terparkir”—tidak bergerak, tidak berkembang, bahkan terancam hilang. Jika tidak segera diselamatkan, kondisi ini bisa menimbulkan trauma baru bagi masyarakat terhadap gerakan CU.

Langkah merger ini bukan sekadar soal angka atau aset, tetapi upaya menjaga kepercayaan publik. Menyelamatkan dana anggota berarti menjaga martabat gerakan koperasi itu sendiri.

CUKK berani melakukan merger karena ketiga CU tersebut—CU Tuah Menua, CU Tani Mandiri, dan CU Saran Mandiri—memiliki aset yang relatif kecil. Aset terbesar dari ketiganya tidak lebih dari enam miliar rupiah.

Sementara itu, CUKK sudah memiliki kekuatan finansial yang sangat solid, dengan aset lebih dari satu triliun rupiah. Dalam konteks ini, ketiga CU itu ibarat skoci kecil yang rawan karam di tengah gelombang perubahan dan tekanan regulasi. CUKK, di sisi lain, ibarat kapal besar yang kokoh dan mampu menampung serta menyelamatkan mereka.

Merger ini bukan sekadar penyatuan organisasi, tapi langkah penyelamatan yang strategis—agar gerakan CU tetap utuh, dan kepercayaan anggota tidak hancur.

Bagaimana dengan kasus CU Puyang Gana yang karam pada tahun 2015? Tidak ada satu pun Credit Union yang sanggup atau bersedia mengambil alih dan menyelamatkan CU ini. Pasalnya, aset CU Puyang Gana saat itu telah mencapai 56 miliar rupiah—bukan lagi skoci kecil, melainkan sebuah kapal besar.

Sejak berdirinya Puskhat pada tahun 2009, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan CU Puyang Gana. Puskhat turun tangan langsung—mengirim tim, memberikan pendampingan, bahkan mengucurkan dana pemulihan yang tidak sedikit. Namun, semua langkah itu berakhir sia-sia.

Kapal CU Puyang Gana sudah terlalu besar untuk diselamatkan. Lobang di lambungnya terlalu lebar. Air masuk dengan cepat, dan sistem di dalamnya tidak lagi mampu menahan guncangan. Perlahan tapi pasti, kapal itu tenggelam sampai ke dasar laut.

Puskhat pun akhirnya harus merelakan kejatuhannya—dengan duka yang dalam. Banyak anggota menjadi korban, bukan hanya secara ekonomi tetapi juga secara psikologis. Trauma dan kehilangan kepercayaan menjadi luka yang membekas dalam sejarah gerakan CU di wilayah timur Kalbar.

Kisah CU Puyang Gana menjadi pelajaran penting: kapal sebesar apa pun bisa tenggelam jika keretakan dibiarkan, jika manajemen lalai, dan jika sistem tidak diperkuat sejak dini.

8/7/25

Munaldus

Founder