Hari itu, Kamis 25 September, ruang pertemuan PEC, Puskhat Pontianak terasa seperti ruang sidang. Dua puluh dua orang komite kredit duduk dengan wajah serius, dahi berkerut, seakan mereka hakim yang hendak menjatuhkan vonis. Di depan mereka ada masing-masing laptop yang penuh dengan data—yang kalau diprint pasti tebal, berwarna-warni, penuh catatan. Aroma parfum ruangan bercampur dengan ketegangan. Lalu, sebuah kejutan diumumkan fasilitator: “Hari ini, kita kedatangan tamu dari abad ke-19: Friedrich Wilhelm Raiffeisen!” Semua menoleh. Di pintu masuk, seorang pria berjanggut, mengenakan jas tua dan membawa tongkat, melangkah dengan tenang. “Anak-anak, siapa yang butuh kredit?” sapanya sambil tersenyum nakal. Ruangan pun pecah dengan tawa.
“Jadi… kalian stres karena pinjaman anggota tidak balik?” Raiffeisen (Raif) menatap satu per satu peserta.
Seorang peserta, Joni, mengangkat tangan, “Betul, Raif. Kami sudah pakai semua analisis. Tapi tetap saja ada yang macet. Malah kadang, kalau kami tolak, mereka marah dan ancam keluar dari CU.”
“Lucu!” Raif tertawa. “Kalau dokter menolak operasi pasien yang tidak siap bayar, apakah pasien juga mau pindah rumah sakit? Hei, ini bukan pasar kaget!”
Ruangan tertawa. Tapi wajah beberapa peserta tetap tegang.
Maya, peserta perempuan yang paling vokal, menimpali: “Masalahnya, Raif, kami tahu 60% keputusan kredit gagal bukan karena data, tapi karena orangnya. Karakter anggota… mereka bohong, mereka main judi, mereka manis di depan, macet di belakang.”
Raif mengangguk serius. “Jadi masalah kalian adalah People. Tetapi saya dengar hanya 40% ideologi koperasi yang tertanam. Artinya, 60% dari kalian sedang hidup tanpa fondasi. Bagaimana kalian berharap rumah berdiri kokoh tanpa fondasi?”
Ruangan hening.
Lalu sebuah suara dari belakang, Tono, bergumam: “Tapi, Raif, ideologi itu kan cuma teori. Kami butuh uang balik, bukan khotbah.”
Semua mata melotot ke Tono. Raif menatapnya, lalu tersenyum: “Anak muda. Justru karena kalian hanya mengejar uang, maka uang lari dari kalian.”
Ketika suasana makin panas, tiba-tiba listrik padam. Ruangan gelap gulita. Peserta panik. Seseorang berbisik: “Aduh, ini pertanda buruk. Jangan-jangan Raif bawa roh dari masa lalu.”
Raif tertawa keras dalam kegelapan. “Kalian takut gelap? Padahal, koperasi kita sudah lama gelap kalau ideologi tidak menyala!”
Lampu kembali menyala. Semua terdiam.
Lalu Raif berdiri di depan papan tulis, menulis besar-besar:
“IDEALISME MENDATANGKAN REALISME.”
Dia menoleh sambil menantang: “Siapa yang berani bilang koperasi bisa hidup tanpa ideologi? Angkat tangan!”
Tak seorang pun berani.
Tiba-tiba, seorang peserta bernama Jefri angkat tangan dengan ragu. “Saya, Raif. Menurut saya, selama ada modal, koperasi bisa jalan. Anggota bisa direkrut, produk bisa ditawarkan, uang bisa diputar.”
Ruangan mendengus. Raif tersenyum. “Modal tanpa ideologi adalah bom waktu. Koperasi tanpa ideologi bukan koperasi—itu bank gagal jadi bank!”
Raif menegakkan tubuhnya, suaranya bergema.
“Anak-anakku, izinkan aku bercerita. Di Jerman, pada abad ke-19, rakyatku tenggelam dalam kemiskinan. Lintah darat mencengkeram, petani menjual ternaknya demi sebutir roti. Saat itu, aku sadar: uang memang penting, tapi yang lebih penting adalah jiwa manusia. Uang bisa habis, tetapi jiwa yang berakar pada iman, solidaritas, dan kejujuran akan membuat orang bangkit lagi.
Kalian di sini bicara tentang kredit macet, tentang anggota pembohong, tentang jaminan ganda. Tetapi pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah kalian sudah mendidik anggota tentang makna koperasi? Apakah kalian sudah menanamkan bahwa menjadi anggota bukan sekadar meminjam uang, tapi membangun peradaban baru?
Ingatlah prinsip pertama: koperasi adalah sekolah kehidupan. Kalau anggota tidak jujur, berarti guru—yaitu kalian—belum cukup tegas.
Prinsip kedua: koperasi berdiri di atas nilai kepercayaan. Kalau kalian lebih takut kehilangan uang daripada kehilangan ideologi, maka kepercayaan akan luntur. Dan ketika kepercayaan hilang, tak ada sistem yang bisa menyelamatkan.
Saya ingin kalian bayangkan ini: jika 22 orang di ruangan ini sungguh-sungguh menghidupi ideologi koperasi—jujur, bertanggung jawab, peduli, solidaritas—maka keputusan kredit kalian akan lebih mudah. Kalian tidak akan ragu menolak permohonan yang tidak sehat. Kalian tidak akan takut ditekan, karena kalian tahu: koperasi berdiri di atas kebenaran, bukan kompromi.
Janganlah jadi komite kredit yang hanya menghitung angka. Jadilah komite yang menimbang hati. Bukan hati yang sentimentil, tapi hati yang berakar pada nilai: keadilan, kejujuran, solidaritas.
Kalian ingin pinjaman kembali 99,9%? Maka 99,9% ideologi harus kalian tanamkan dulu! Kredit macet adalah cermin dari macetnya ideologi. Jika anggota judi, itu karena ia tidak diajar untuk bermartabat. Jika anggota bohong, itu karena ia tidak ditempa untuk jujur.
Di masa saya, saya melawan arus. Semua orang bilang: tanpa bunga, koperasi akan bangkrut. Tetapi saya berkata: tanpa cinta, manusia akan mati. Dan lihatlah, koperasi hidup ratusan tahun kemudian.
Sekarang, saya tanya kalian: siapa yang berani menjadi penanam ideologi lebih dulu? Siapa yang berani bilang: ‘Saya bukan hanya komite kredit, saya adalah pendidik nilai koperasi’? Angkat tangan!”
Setengah peserta terdiam. Lalu Maya berdiri, tangannya terangkat. “Saya, Raif. Saya tidak mau lagi hanya jadi pemeriksa berkas. Saya mau jadi penanam ideologi.”
Satu per satu peserta lain berdiri, hingga seluruh ruangan berdiri.
Raif tersenyum lebar. “Nah, inilah resolusi kita. Re-ideologisasi dimulai dari diri kalian. Mulailah besok, bukan tahun depan. Koperasi akan selamat bukan karena sistem, bukan karena modal, tetapi karena manusia yang hidup dengan ideologi. Ingat: orang jujur membawa berkat, orang serakah membawa malapetaka.”
Suasana ruangan berubah. Wajah-wajah yang tadi tegang kini bersinar. Joni berbisik pada Maya: “Ternyata, solusi bukan hanya di angka, ya.”
Maya tertawa kecil. “Betul. Kalau hati anggota lurus, angka akan mengikuti.”
Raif melangkah menuju pintu, menepuk tongkatnya ke lantai. “Ingat, anak-anakku. Jangan hanya jadi tukang kredit. Jadilah penjaga ideologi. Karena tanpa ideologi, koperasi hanya papan nama.”
Ketika pintu menutup di belakangnya, seorang peserta nyeletuk: “Eh… tadi Raif datang naik apa ya? Ojek online atau mesin waktu?”
Ruangan meledak dengan tawa.
Dan di tengah tawa itu, semangat baru lahir: Re-Ideologisasi Koperasi dimulai hari itu juga.
Hari itu ditutup dengan senyum dan tawa, tapi juga dengan kesadaran baru. Para komite kredit nanti pulang bukan hanya membawa catatan rapat dan kertas kerja, melainkan juga api kecil yang menyala di dada mereka—api ideologi koperasi yang kembali dipantik oleh Raiffeisen. Mereka sadar, keputusan kredit bukan sekadar hitungan angka, tetapi keputusan untuk menjaga martabat manusia dan keberlangsungan gerakan. Dan selama api itu terus dijaga, mereka yakin: koperasi tak hanya akan selamat, tapi juga akan tumbuh menjadi benteng keadilan dan solidaritas di tengah zaman yang kian sulit.***
25/9/25
Munaldus
Penasihat Puskhat