Spin-Out seperti Orang Tua Kita Dulu Membangun Tembawang

Dalam kehidupan masyarakat Dayak, tembawang bukan sekadar kebun tua. Ia adalah ensiklopedia hidup tentang kearifan, kesabaran, dan keberlanjutan. Di sanalah nenek moyang kita menanam pohon durian, manggis, cempedak, langsat, dan aneka buah lainnya bukan untuk hari ini, melainkan untuk masa depan anak cucu. Tembawang bukan investasi untuk satu musim panen; ia adalah warisan peradaban yang tumbuh di antara akar dan daun.

Begitu pula seharusnya kita memahami spin-out credit union—pemekaran ke koperasi sektor riil—sebagai bentuk tembawang baru dalam ekonomi rakyat. Jika sebuah Credit Union hanya satu batang pohon durian, maka koperasi-koperasi hasil spin-out adalah tembawang yang memayungi masa depan bersama. Di sana tumbuh koperasi konsumsi, koperasi produksi, koperasi jasa, hingga koperasi pendidikan. Semua tumbuh dari akar yang sama: solidaritas dan semangat tolong-menolong.

Bayangkan jika seluruh gerakan hanya bergantung pada satu pohon durian bernama Credit Union. Begitu musim buah tiba, semua orang akan berebut, bahkan bisa saling berebut, karena hanya satu pohon yang berbuah. Namun jika yang tumbuh adalah tembawang koperasi, maka musim buah tak lagi menjadi pertarungan. Semua orang bisa memetik buah dari pohonnya masing-masing tanpa mengurangi yang lain. Tidak ada kerakusan dalam tembawang, yang ada hanyalah keseimbangan antara memberi dan menerima.

Dalam konteks manajemen, gerakan koperasi hasil spin-out memerlukan sistem pengelolaan yang bijak, seperti kehidupan dalam rumah betang Dayak. Rumah betang bukan sekadar bangunan panjang tempat banyak keluarga tinggal. Ia adalah simbol harmoni sosial. Ada ruang privat (bilik), tetapi ada juga ruang Bersama (ruai); ada kebebasan individu, tetapi ada pula aturan kolektif. Tuai rumah menjadi penjaga keseimbangan itu. Ia tidak memerintah, tetapi mengarahkan. Ia tidak mengambil, tetapi memastikan semua mendapat bagian yang adil.

Kehidupan rumah betang mengajarkan manajemen partisipatif jauh sebelum istilah itu populer di dunia korporasi. Di rumah betang, keputusan tidak diambil oleh satu orang, tetapi melalui musyawarah. Konflik tidak dihindari, tetapi diolah menjadi pelajaran. Itulah model tata kelola yang seharusnya menginspirasi koperasi-koperasi spin-out hari ini. Bahwa manajemen bukan soal kekuasaan, melainkan soal keharmonisan.

Gerakan Koperasi Keling Kumang telah meniru kearifan ini. Ia menanam pohon-pohon baru melalui koperasi sektor riil yang lahir dari rahim Credit Union. Ada yang mengurus pertanian, perdagangan, hotel, pendidikan, dan pariwisata. Masing-masing tumbuh sesuai lingkungannya, namun semuanya tetap berakar pada nilai-nilai yang sama: solidaritas, kejujuran, kerja keras, dan keberpihakan pada rakyat kecil. Inilah tembawang sosial ekonomi yang sedang tumbuh di Kalimantan Barat.

Namun tentu, membangun tembawang bukan tanpa tantangan. Butuh kesabaran luar biasa untuk menunggu pohon berbuah. Butuh komitmen kolektif agar tidak ada yang menebang pohon sebelum waktunya. Butuh visi bersama agar anak cucu tidak menjual tanah tempat tembawang itu tumbuh. Dalam dunia koperasi, itu berarti menjaga ideologi, disiplin organisasi, dan budaya partisipatif agar tidak digantikan oleh kepentingan pribadi.

Kita hidup di zaman yang serba cepat. Semua ingin hasil instan. Tapi tembawang tidak tumbuh dari keinginan cepat kaya. Ia tumbuh dari filosofi hidup yang menghargai proses, kesabaran, dan keberlanjutan. Demikian pula koperasi. Jika kita membangun koperasi hanya untuk keuntungan sesaat, maka kita sedang menanam pohon durian di tanah yang salah. Buahnya mungkin manis sekali, tapi setelah itu tanah menjadi gersang.

Tembawang juga mengajarkan diversifikasi. Tidak semua pohon akan berbuah pada waktu yang sama. Ketika durian belum musim, mungkin langsat atau cempedak yang berbuah. Begitulah pula gerakan koperasi: jangan menaruh seluruh harapan pada satu jenis usaha. Spin-out ke berbagai sektor adalah strategi keberlanjutan. Jika satu sektor sedang lesu, sektor lain bisa menopang. Inilah ekonomi gotong royong yang sesungguhnya.

Dan di atas semuanya, tembawang adalah simbol cinta kepada masa depan. Orang Dayak menanam pohon bukan untuk dirinya, tapi untuk generasi setelahnya. Begitu pula para perintis koperasi seharusnya berpikir. Bahwa koperasi bukan proyek hidup pribadi, melainkan warisan sosial. Bahwa kita mungkin tidak sempat memetik semua buah dari pohon yang kita tanam, tapi kita bahagia karena tahu anak cucu kita akan menikmatinya.

Kehidupan rumah betang memperkuat filosofi itu. Dalam rumah betang, setiap keluarga saling bergantung. Ketika satu dapur berasap, semua ikut kenyang. Ketika satu kamar bersedih, seluruh rumah ikut berduka. Tidak ada “aku” di dalam rumah betang; yang ada adalah “kita.” Demikianlah seharusnya gerakan koperasi spin-out dipimpin—bukan oleh orang yang haus kekuasaan, melainkan oleh tuai rumah yang paham makna harmoni dan keseimbangan.

Jika dunia modern mencari model manajemen yang inklusif, maka Dayak telah memilikinya berabad-abad yang lalu. Rumah betang adalah bentuk awal dari governance berbasis komunitas. Setiap orang punya suara, setiap keputusan berakar pada kebersamaan. Tidak ada pemilik tunggal dalam rumah betang; semua adalah bagian dari rumah yang sama. Koperasi yang meniru semangat ini tak akan mudah goyah.

Maka, mari kita rawat tembawang koperasi ini dengan kesadaran dan kesetiaan. Jangan biarkan satu pohon tumbang karena iri atau keserakahan. Jangan biarkan rumah betang retak karena ego pribadi. Kita adalah pewaris dari sistem sosial yang sudah lama memahami keseimbangan antara alam, manusia, dan solidaritas. Gerakan koperasi kita tidak lahir dari teori luar negeri, melainkan dari kebijaksanaan lokal yang hidup dalam darah kita.

Spin-out bukan sekadar strategi bisnis. Ia adalah strategi peradaban. Sebuah cara untuk memperluas makna kesejahteraan tanpa kehilangan akar budaya. Karena sejatinya, koperasi bukan tentang uang, tapi tentang hubungan manusia. Bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling peduli. Dan jika kita menelusuri akar dari semua itu, kita akan menemukan bahwa nenek moyang kita sudah lebih dulu paham: membangun masa depan adalah menanam tembawang hari ini.***

Pontianak, 14/10/25

Munaldus Founder/Penasehat