Akankah badai covid-19 menendang sebuah CU sampai terguling-guling? Atau adakah CU yang bergeming sekalipun terkena badai covid ini? Dua pertanyaan yang mengusik pikiran saya sebagai aktivis senior CU. Pada masa lalu, tanpa ada pandemi covid, rata-rata setiap tahun ada satu CU yang mati. Nah, dengan pandemi covid, apakah banyak CU bakal oleng?
Kita didera badai covid-19 mulai pertengahan maret 2020. Kampung-kampung melindungi diri dari orang luar dengan cara memasang palang atau portal di jalan masuk kampung. Kita diwajibkan tinggal di rumah, bekerja dari rumah, dan menghindari kerumunan. Sekolah-sekolah diliburkan. Kita menjadi tak berdaya dan frustrasi. Income hampir-hampir tidak ada. Beruntunglah para anggota yang mengikuti nasehat CU agar membangun kebiasaan menabung. Tabungan di CU menjadi cadangan di kala sulit seperti ini. Jadilah orang MANTAB alias makan tabungan. Tidak apa, itulah gunanya menabung. Mengantisipasi masa sulit yang datang tidak diduga-duga.
Staf CU adalah pihak yang paling galau, mengapa? Mereka tidak bisa datang ke kampung-kampung menemui anggota atau menagih angsuran pinjaman karena warga kampung mengunci diri. Takut kalau terjangkit virus corona. Para anggota juga sulit datang ke kantor CU. Lengkaplah sudah.
Pada masa pandemi, harga karet jatuh bahkan di beberapa tempat, pedagang tidak mau membeli karet masyarakat karena pabrik karet juga tutup. Ada anggota yang pendapatannya nyaris menuju angka nol. Untunglah harga buah sawit relatif baik. Para anggota yang memiliki kebun sawit relatif tertolong. Para anggota yang tidak memiliki kebun sawit beralih profesi, kerja emas. Harga emas melonjak. Dampaknya lingkungan dan daerah aliran sungai rusak tak karuan. Bagaimana dengan para buruh harian dimana usaha banyak yang berhenti beroperasi? Atau para pemilik kedai yang tanpa pengunjung?
Situasi di atas sudah pasti berdampak pada CU. Beberapa CU ikut-ikutan himbauan pemerintah mengumumkan di media sosial penerapan relaksasi angsuran pinjaman. Sayangnya relaksasi tanpa kompensasi dari pihak manapun. Nah, saat saya menulis artikel ini, saya mendapat informasi dari lapangan beberapa CU telah memasuki SHU minus. Bolehkah SHU minus? Ini pertanyaan penting untuk dianalisis.
Di dalam buku saya, Ilmu Credit Union, yang terbit tahun 2020 ini, saya menegaskan bahwa ada dua indikator yang paling esensial pada postur keuangan CU, yaitu likuiditas dan SHU. Likuiditas (ketersediaan dana segar) ibarat oksigen dan SHU atau profit ibarat air. Tanpa kedua hal itu atau krisis kedua hal itu amat sangat membahayakan eksistensi CU. Seperti sudah diuraikan di atas, beberapa CU sudah mulai mengalami krisis SHU, beberapa lagi akan menyusul pada bulan-bulan ke depan, apabila mitigasi risiko tidak pas.
Kembali ke pertanyaan “Apakah SHU boleh minus?” Saya menjawab dengan mengajukan pertanyaan begini: “Berapa lama manusia bisa bertahan apabila terjadi krisis air, apalagi krisis air yang parah dan lama?” Anda bisa menjawabnya sendiri.
Jadi, jawaban tegas saya adalah SHU CU tidak boleh minus, mengapa? Apabila SHU minus berarti beban atau biaya yang dikeluarkan bukan lagi bersumber dari pendapatan. Pendapatan sudah lebih kecil dari biaya. Terus defisit ditutup dari mana? Dari hutang atau kewajiban, bisa saja mengambil dari simpanan anggota. Makan ke dalam dan ini bakal menjadi penyakit komplikasi. Ibarat sepeda motor, keluar asap putih dari knalpot pertanda makan oli. Siap-siap ngejim.
Ketika SHU sudah minus, bulan-bulan berikutnya bisa jadi akan bertambah minus. Mengapa? Karena ada biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) yang harus tetap dikeluarkan. Katakanlah di saat SHU sudah minus, CU anda masih membayar BJS simpanan x % p.a. Dari mana sumber dana anda membayar BJS itu? Ketika anda sudah membukukan BJS kepada seorang anggota, misalnya Rp 250rb, pada akhir bulan, dan kemudian anggota itu menarik BJS, darimana sumbernya? Uang itu diambil dari Kas atau setara kas, tetapi sumbernya bukan dari pendapatan lagi, lalu dari mana? Bisa saja itu dari simpanan anggota. Kacaukan? Apa yang terjadi kalau situasi ini terus terjadi, kas yang akan tertekan dan CU akan menghadapi krisis likuiditas alias krisis oksigen. Ingat dana cadangan atau modal sendiri tidak dapat digunakan apabila tidak melalui mekanisme rapat anggota. Dan Modal sendiri sudah dikunci sebagai dana stabilisasi.
Saya berharap mitigasi risiko harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Saya tampilkan berbagai jenis risiko sesuai kategorinya yang dihadapi CU. Perhatikan Tabel di bawah.
Risiko Keuangan | Risiko Operasional | Risiko Strategis |
Risiko Kredit Risiko penyelesian Risiko protofolio | Risiko Transaksi Risiko SDM Risiko IT | Risiko Tata Kelola Kelalaian Struktur Tata Kelola yang Buruk |
Risiko Likuiditas | Risiko Fraud (Integritas) | Risiko Reputasi |
Risiko Pasar Risiko Suku Bunga Risiko Nilai Tukar | Risiko Legal dan Kepatuhan | Risiko-risiko Bisnis External Risiko Peristiwa (Event Risk) |
Risiko Portofolio Investasi |
Dari Tabel itu anda lihat bahwa hari ini kita berhadapan dengan risiko keuangan. 4 kategori risiko di bawah risiko keuangan semuanya rentan¾risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko portofolio investasi (misalnya investasi di PT. AJS sedang bermasalah). Sekali lagi, jika salah melakukan mitigasi risiko ini, bisa saja masalahnya berlarut-larut sampai ke risiko operasional dan risiko strategis. Hari ini sedang ada banjir besar di basis-basis CU di Kalbar, itu artinya CU sedang menghadapi Event Risk juga.
Jadi, saran saya apabila SHU CU anda minus, segera tangani risiko pasar yaitu turunkan BJS Simpanan, khusus simpanan unggulan yang saat ini mungkin masih berada antara 9 – 12% p.a. Mengapa? Haruslah proporsional, jika pada masa pandemi covid-19 para anggota diberikan ruang relaksasi pembayaran angsuran pinjaman kepada CU, maka pihak CU harus juga melakukan relaksasi pembayaran BJS Simpanan kepada anggota. Tidak ada pilihan dan para anggota harus memaklumi jika kendaraan CU masih ingin terus berjalan. Tanpa keseimbangan seperti itu, maka lembaga pasti akan oleng.
Bercermin kepada beberapa CU yang akhirnya mati, saya menyimpulkan sebuah alur kematian sebuah CU seperti pada skema di samping. Sekedar warning buat anda semua. Jika mitigasi risiko tidak mantap, maka krisis SHU (alias krisis air) akan menyusul krisis likuiditas (krisis oksigen). Jika tidak tertangani juga maka akan masuk ke krisis internal (krisis kepemimpinan) dan akhirnya masuk ke krisis kepercayaan (trust). Sampai pada fase akhir ini, bisanya CU tidak akan tertolong. Tidak ada anggota yang percaya kepada CU. Citra CU sudah hancur dan tamatlah CU itu.
Contoh kasus yang paling menarik terjadi pada CU Daya Lestari (CUDL) di Kaltim sepuluh tahun lalu. CU ini mengalami krisis air dan oksigen, tetapi mereka berhasil mencegah terjadinya krisis internal dengan mengganti pemimpin. Pemimpin terpilih (Ketua dan Manager) adalah orang yang berwibawa, berkomitmen, berjiwa muda dan bukan bagian dari masalah. Alhasil CUDL eksis kembali bahkan bisa tumbuh cemerlang di habitatnya. Ibarat bisnis di bidang transportasi apabila kendaraan (misalnya bis) sering bermasalah, maka gantilah sopir dan kernetnya. Hanya itu jalan mitigasi yang berhasil.
(Munaldus, penasehat dan founder Puskhat, 16-7-2020)
semoga semakin menjadi rambu rambu credit union
Amin….terima kasih