JADILAH GIVER DI CREDIT UNION

Saya menyaksikan CU-CU yang tidak berumur panjang terutama di Kalbar disebabkan oleh satu hal: “Tidak diawali oleh niat baik dari para perintisnya.” Kehadiran CU bukan untuk memecahkan masalah atau keprihatinan yang dihadapi oleh satu komunitas, tetapi ada motif lain.  Itulah pembelajarannya.

Setiap kali saya berbincang dengan pengurus dan manajer CU, selalu ada satu pertanyaan penting yang muncul: mengapa kita tidak bergerak secepat yang kita impikan? Padahal anggota terus bertambah. Aset meningkat. Sistem makin digital. Tapi kenapa rasa memiliki di antara kita seperti kian menipis? Mengapa yang muncul justru kelelahan, saling curiga, bahkan kehilangan semangat?

Jawabannya tidak selalu ada pada laporan keuangan. Sering kali, jawabannya ada dalam diri kita sendiri. Dalam cara kita bersikap. Dalam cara kita berinteraksi. Dan dalam cara kita memperlakukan pekerjaan ini—apakah sebagai ladang pelayanan, atau sebagai tempat mencari kenyamanan pribadi.

Hasil kerja kita sering menyecewakan. Lihat saja data, anggota dormant (tidur) tinggi bahkan hampir mencapai 50% dan rasio distribusi pinjaman yang idealnya minimal 60% hanya dicapai di bawah 30%. Apa yang salah dengan pelayanan kita kepada anggota? Apakah dapat dibaca bahwa anggota mulai jenuh dan resistensi terhadap produk atau layanan yang kita berikan?

Mari kita periksa perilaku ordal. Dalam banyak organisasi, ada tiga tipe orang: pemberi (giver), penerima (taker), dan penghitung timbal balik. Giver adalah orang yang memberi lebih dari yang ia terima. Ia datang bukan hanya membawa keahlian, tapi juga niat untuk melayani. Taker adalah mereka yang lebih fokus pada apa yang bisa mereka dapatkan—posisi, tunjangan, apresiasi, atau kemudahan. Dan penghitung timbal balik adalah orang-orang yang selalu bertanya: “Kalau saya melakukan ini, apa yang saya dapat?” Mereka mau membantu, asal jelas balasannya.

Tentu, dalam dunia kerja, kita semua butuh dihargai. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi jika budaya organisasi kita dikuasai oleh para taker atau oleh perhitungan untung-rugi, maka gerakan ini kehilangan rohnya. Kita bisa memiliki bangunan kantor yang megah, sistem yang canggih, dan tim yang rapi—tapi tidak akan punya ruh perjuangan. Tidak akan ada semangat gotong royong. Tidak akan ada kehangatan antar sesama.

Saya pernah melihat bagaimana seorang staf front office bisa menjadi inspirasi bagi seluruh CU. Ia menyapa setiap anggota dengan nama, mengenali cerita hidup mereka, dan menjadikan meja pelayanan bukan sekadar tempat transaksi, tapi tempat bercerita dan merasa diterima. Ia tidak pernah hitung-hitungan waktu kerja. Ia tidak menunggu disuruh. Ia memberi, karena ia merasa ini rumahnya. Dan ketika anggota merasa disambut dengan ketulusan, mereka pun mulai berubah—dari pengguna menjadi pemilik. Dari pasif menjadi aktif.

Sebaliknya, saya juga menyaksikan bagaimana pengurus yang cerdas, tapi terlalu sibuk menjaga posisi, akhirnya menjadi racun bagi timnya sendiri. Ia menghindar dari tanggung jawab berat, tapi pertama tampil ketika ada peluang tampil atau penghargaan. Ia sibuk membangun citra, bukan semangat. Ia menjadi pemisah, bukan pemersatu. Orang-orang seperti ini bisa sangat kompeten, tapi tidak membuat organisasi menjadi lebih hidup.

Sebagai orang dalam di CU, kita punya tanggung jawab moral yang lebih besar. Kita bukan hanya mengelola uang anggota. Kita mengelola harapan. Kita membentuk budaya. Kita menanam nilai—pendidikan, solidaritas dan swadaya. Dan nilai-nilai ini tidak bisa tumbuh kalau kita hanya menjadi pelaksana teknis. Kita harus menjadi giver—yang memberi waktu, pikiran, bahkan hati. Yang bekerja dengan kesadaran bahwa setiap keputusan yang kita ambil berdampak pada hidup banyak orang. Bahwa setiap kata yang kita ucapkan bisa membangun atau menghancurkan kepercayaan.

Namun menjadi giver juga perlu kecerdasan. Banyak dari kita yang terlalu sering memberi, sampai kelelahan. Kita mengambil alih semua tugas, menutup celah, menyelamatkan tim dari masalah. Kita merasa heroik, padahal perlahan-lahan kita habis dari dalam. Kita mulai merasa dimanfaatkan. Kita kehilangan semangat. Dan diam-diam, kita berubah menjadi matcher yang pahit. Maka, kita perlu menjadi giver yang bijak. Kita memberi dengan batas. Kita menolong tanpa mengorbankan diri. Kita membangun sistem agar semangat memberi tidak tergantung pada satu-dua orang, tapi menjadi budaya bersama.

Kita tidak bisa mengandalkan motivasi semata. Kita harus menciptakan ekosistem kerja yang sehat—yang tidak memberi ruang bagi taker untuk merajalela. Kita bangun sistem penghargaan yang bukan hanya berdasarkan hasil, tapi juga berdasarkan kontribusi sosial. Kita bentuk ruang kerja yang memberi ruang aman untuk kolaborasi, bukan persaingan antar bagian. Kita mulai dari hal sederhana: saling menghargai. Saling mendengarkan. Saling menyemangati.

Bagi para pengurus dan pengawas, inilah saatnya untuk menjadi teladan dalam memberi. Kita mungkin tidak punya waktu sebanyak staf, tapi kita punya pengaruh. Kita punya posisi. Jangan gunakan posisi itu untuk membangun tembok. Gunakan untuk membangun jembatan. Untuk hadir di tengah, mendengar suara yang kecil, dan memberi ruang bagi yang ingin bertumbuh.

Bagi para manajer dan staf, mari kita lihat ulang pekerjaan kita: apakah kita bekerja karena takut target? Karena gaji? Atau karena kita sungguh percaya bahwa CU bisa mengubah hidup banyak orang? Kita bisa bekerja dengan lebih ringan jika kita merasa punya makna. Dan makna itu datang ketika kita memilih untuk menjadi pemberi, bukan hanya pengambil.

Kita tidak sedang membangun perusahaan. Kita membangun gerakan. Kita tidak hanya bertanggung jawab pada lembaga, tapi juga pada warisan nilai. Dan warisan itu akan hidup jika kita memilih untuk memberi: memberi waktu, memberi teladan, memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh.

Mungkin selama ini kita terlalu sibuk menyalahkan anggota yang tak aktif, tak paham nilai CU, atau hanya datang saat butuh pinjaman. Tapi mungkin, anggota hanya mencerminkan apa yang mereka lihat dari dalam. Jika kita memberi teladan sebagai pemberi, lambat laun mereka pun akan berubah. Karena nilai itu menular. Dan semangat itu menular, ketika dimulai dari dalam.

Jadilah giver. Bukan karena kita lebih baik. Tapi karena kita sadar, bahwa untuk menggerakkan perubahan, seseorang harus memulai lebih dulu. Dan bila bukan kita—orang dalam—siapa lagi?

8/8/25

Munaldus