Agro Forestry

Aku berjalan di antara pepohonan rindang di kebun milikku. Helaian rambutku sudah memutih semua tapi mereka ku pertahanan tetap ori, tipis dan hitam. Ku semir. Aku sudah renta, tapi tetap bersemangat. Aku menikmati hidup yang diberikan sang Pencipta dan aku membalasnya dengan memberikan kontribusi: kebun buah-buahan yang dapat menghasilkan oksigen berlimpah, menahan lajunya pemanasan global.

Orang-orang kampung meladangi lahannya, menanam padi dan tanaman selingan lain. Acara menugal padi secara beramai-ramai, tapi ada hitung-hitungannya juga. Ketika panen  selesai, lahan itu dipancang pancang dengan jarak 8 meter. Di situ digali lobang, lalu ditanam sawit. Buah sawit lagi mahal pak. Makanya kami ramai-ramai berpindah menanam sawit. Kebun karetpun kami ladangi lantaran harganya tak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami. Monokultur, membunuh banyak jenis, menanam satu jenis. Apa bapak tidak menanam sawit juga? Tidak kataku.

Aku berdiri di bawah pohon durian musang king yang tumbuh subur. Sekarang mulai berbuah. Lebat lebat. Hanya satu pohon? Tidak, 100 pohon lebih. Ku berjalan lagi menuju pohon-pohon lain: kakao, kopi, langsat punggur, petai, lengkeng, alpokat. Selain dimakan sendiri atau menjadikan buah tangan buat keluarga dan handai taulan, buah-buah itu ku jual. Aku telah memproduksi kopi dengan merek coffee cofit, lantaran kopi ini ditanam pada masa covid-19. 

Buk… aku mendengar bunyi buk. Itu di belakangku. Aku menoleh. Ada buah durian musang king masak dan jatuh. Aku gembira. Itu pasti hadiah buatku hari ini. Bisa ku makan di bawah pohon atau sebagian ku bawa pulang ke pondok untuk  dijadikan jus durian. Cuaca sedang panas dan aku pasti sangat menikmati.

Mobil pick up ku parkirkan di pinggir jalan di kebun. Siap membawa buah durian masak dan buah lainnya ke kota untuk dipajang di pinggir jalan. Petani Amerika juga begitu berjualannya. Pick up nya penuh jagung yang siap direbus atau dibakar. Aku pernah mampir di situ dan membeli 6 buah.

Aku tahu pembeli sudah menunggu pick up ku yang penuh dengan buah durian dan buah lainnya. Pukul 4 sore jadwal aku berjualan. Seringkali pembeli sudah menunggu pick up itu nongkrong dengan aneka buah-buah yang siap dijual. Aku tahu satpol PP mungkin gerah dan akan mengusirku karena berjualan tanpa ijin. Ya… sekarang pukul 4 sore.

Ku tulis di selembar kertas kardus dengan spidol warna biru: Self Service (melayani sendiri maksudnya). Durian musang king yang kecil Rp 50rb/bh, yang besar Rp 75rb/buah. Petai 10 ikat Rp 10rb, lengkeng satu ikat Rp 10rb. Aku juga menjual coffiee cofit bubuk yang sudah dikemas rapi. Tulisan itu kuletakan di atas pick up dan semua pembeli bisa membacanya.

Self-service, pikirku. Tidak perlu banyak orang. Sediakan kotak, dan mereka yang membeli memasukan uang di situ. Aku pun duduk di bawah pohon yang teduh, lalu membaca roman Gadis Pantai karangan Pramudia Ananta Toer.

Belum berapa lama aku duduk, benar…. siluet mobil satpol PP ku lihat. Aku bergegas ke pinggir jalan dan meminta mobil itu berhenti. Empat orang. Bung…. bisa berhenti sejenak, ayo makan durian musang king ini. Ku bukakan satu biji, warnanya kuning. Dan mereka menikmatinya. Apa mau tambah lagi? Ambil-ambil, hidup harus dinikmati kataku. Tidak, cukup, kata seorang. Oh… kalian bawa buah durian ini untuk anak isteri kalian ya. Ku ikatkan durian itu dengan tali rapia, satu orang ku beri satu. Tangan kalian pasti bau durian, kalau anak-anak kalian tanya, bapak makan durian kog tidak ngajak-ngajak? Kalian bilang apa? Salam buat anak-anak kalian. Mereka berbisik satu sama lain, tak usah usir pak tua ini berjualan di sini. Dia hanya mengisi sisa hidupnya dengan membaca novel itu…. Mereka masuk mobil dan pergi. Akupun kembali ke tempat duduk di bawah pohon. Angin bertiup sepoi-sepoi.

Para pembeli semakin ramai memilih buah durian, buah lengkeng, dan lain-lain. Mengikatnya sendiri dengan tali rapia dan mencantolkan di motor. Mereka mengambil uang di dompet dan memasukannya ke dalam kotak. Bayar. Oh….kini pick up sudah kosong.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan kembali ke pick up itu. Aku mengambil kotak yang sudah penuh berisi uang. Masuk ke dalam mobil dan akan segera menuju ATM setor di CU. Kantor CU sudah tutup, sudah lewat pukul 03:00 sore.

Seseorang datang menghampiri mobilku. Apa bapak yakin orang-orang itu tadi membayar dengan jujur? Yakin kataku, karena aku tidak tahu siapa yang jujur dan siapa yang tidak. Apakah bapak sesampai di rumah nanti bapak hitung ulang untuk memastikan jumlah uang hasil penjualan sesuai dengan jumlah buah yang dijual. Tidak. Aku telah memilih menjadi orang baik. Orang baik walaupun rejeki belum tiba tapi bencana telah menjauhinya.

Lagi pula, kataku. Jikapun ada pembeli yang ambil dua bayar satu, itu biasa. Anak-anak SMA juga sering makan bakwan di kantin sekolah, ambil 2 dibilang satu. Ha…ha… ha…. Kalau ada yang seperti itu, mungkin uangnya tidak cukup untuk beli dua buah durian. Kalau dia butuh dua untuk anak-anaknya? Asalkan anak-anak mereka senang dengan durian itu, aku tidak pernah menyesal. Dan itulah hidup.

Buk… aku merasa sebuah bantal guling mendarat di mukaku. Kau ngigau kata isteriku. Dia membangunkan ku dengan bantal guling itu. Mimpi apa? Aku terdiam sejenak. Mimpi dunia lain.***

Liu Ban Fo

KFS, 18/3/2021