Trilogi ke 2 seri cerita durian musang king. Tunggu yang ke 3 ya ?

Sebana

Jam di tanganku pukul 03:10 sore. Pukul 04:00 harus sudah nongkrong lagi di halaman toserba itu. Ini panen durian musang kingku yang terakhir. Dua pekerja kebun sedang mengangkut durian itu dari pohon dan memuatnya ke pick up. Butuh waktu 20 menit. Habis itu kami bertiga, aku, pick up dan durian musang king, berangkat.

Aku duduk di pinggir jalan di bawah pohon yang kubiarkan tumbuh. Sekarang pohon ini sudah sebesar drum. Jarang melihat pohon sebesar itu sekarang. Sementara menunggu aku membuka fb, ada postingan yang menarik.

Beberapa orang kerja gotong royong di ladang. Pukul 11:00 mereka istirahat makan siang. Butuh waktu satu jam lah untuk masak sayur dan lauk pauk. Nasi masing-masing bawa dari rumah.

Sementara menunggu sayur masak, salah seorang dari mereka bercerita pengalaman berburu rusa. Satu kali, katanya, aku ngendap-ngendap di semak-semak di antara pepohonan. Ku lihat di kejauhan ada sesuatu bergerak. Setelah ku intip benar-benar, ternyata itu rusa. Aku membidik rusa itu dengan senapang lantak (senjata api berburu orang Dayak). Ternyata rusa itu berjalan pelan-pelan sambil makan. Pas pelatuk senapang lantak kulepas, rusa itu berada di balik sebuah pohon besar. Tor….! Eh… peluru itu kena batang pohon. Aku kecewa sekali. Berharap mendapatkan rusa, malah yang kena batang pohon. Mendengar bunyi tor… itu, pastilah rusa langsung kabur.

Aku duduk dan menyesal. Terus apa yang kau kerjakan setelah itu, kata kawannya lagi, sambil mengipas-ngipas api  di tungku dengan tanggui (=tutup kepala pelindung panas matahari). Aku ambil bekal dari dalam cupai (= wadah dari rotan yang diselempangkan di badan) dan bersiap makan. Eh.. taunya apa? Apa? kata kawannya yang satu, sambil konsentrasi ingin mendengarkan kelanjutan cerita. Hampir 15 menit ku duduk di situ, ku dengar bunyi… buk! Bunyi ke arah pohon yang kena peluru senapang ku tadi. Aku berjalan ke sana hanya sekedar ingin tahu. Sesampai di situ rusa baru saja tumbang. Itulah bunyi buk tadi. Kog bisa? Kata kawannya yang satu. Itulah… setelah ke teliti teliti, ternyata peluru itu butuh waktu 15 menit melewati batang kayu dan begitu keluar, langsung mengenai si rusa. Si rusa itupun mati. Mereka semua ketawa terpingkal-pingkal. Salah satu dari mereka meninju bahu si pemburu saking kesal, karena pasti itu bohong. Sialnya, kaki orang itu mengenai panci yang berisi sayur dan lauk yang hampir masak. Panci itupun terguling-guling ke jurang. Apes betul mereka siang itu. Akhirnya mereka makan siang hanya dengan garam dan belacan bakar diolek-olek cabe.

Sudah selesai pak! teriak pekerja kebun. Aku bergegas menuju pick up. Berapa muatan ini kira-kira? kataku. Ada satu ton lebih sedikit. Mantap. Aku lalu berpikir dengan layanan self service seperti biasa, kaleng blek kopi bubuk itu pasti akan penuh. Kaleng blek itu sudah diletakkan di atas tumpukan buah durian. Orang-orang di kota ini hobinya makan durian, pikirku. Jadi, durian ini tak bakal butuh waktu lama ludes terjual.

Coba pilihkan satu buah durian yang paling baik buatku, kataku pada seorang pekerja kebun. Untuk apa pak? Bakal ku jadikan jimat. Ah … bukan! Hanya untuk kenang-kenangan saja. Simbol keberlanjutan durian. Dulu bapakku kalau berladang, padi yang dijadikan benih akan dipanen paling belakangan. Oke, kata si pekerja kebun. Ia memilih-milih buah durian yang paling bagus. Ini pak, katanya. Bagus, kataku. Ku simpan di kabin mobil. Nanti kusimpan baik-baik, hanya akan dibuka ketika pohon durian berbuah lagi.

Pas pukul 04:00 sore, pick up parkir di depan toserba. Kertas kardus yang bertuliskan daftar harga durian ku pasang di atas pick up. Orang-orang pasti akan membacanya sebelum memilih buah durian dan membayar. “Bayar dan masukan uangnya ke kaleng blek kopi ini”, begitu tertulis di kertas kardus tersebut. Seperti biasa aku menunggu di bawah pohon dan membaca novel.

Para pengendara satu per satu mampir dan berkerumun di sekitar pick up. Berharap mendapatkan kualitas durian terbaik. Isinya kuning tembaga. Seorang ibu dengan tiga anak mendekati ku. Pak, katanya sambil menunduk sedih, bolehkah aku minta sebuah durian, tapi aku tidak punya uang. Em… boleh boleh, ambil-ambil ke sana ya. Tak usah bayar kataku. Si ibu langsung menuju pick up. Kulihat ketiga anaknya itu lusuh dan lecek. Ku pandang sandal jepitnya. Waduh… kiri dan kanan tidak sama. Bagian tumitnya sudah bocor. Kasihan, pikirku. Mengapa ibu ini dilanda kemiskinan seorang diri. Dulu ketika aku masih kecil, sandalku juga seperti itu.

Seorang karyawan toserba mendekatiku. Siapa ibu itu, kau kenal? tanyaku. Berharap ada sedikit informasi. Oh… ibu itu pernah kerja di luar negeri, pulang-pulang hanya bawa tiga anak. Kasihan, mungkin si ibu korban pedagangan manusia, pikirku.

Si ibu membawa satu buah durian musang king dan berjalan mendekatiku lagi. Pembeli membludak, tak seperti biasa. Aku sampai tidak bisa melihat pick up itu lagi. Mungkin kaleng blek kopi itu sudah hampir penuh dengan uang, pikirku. Sambil membungkuk, terima kasih pak atas pemberian duriannya, kata si ibu, sambil memegang salah satu anaknya. Ya, jawabku. Mengapa kau hanya ambil satu, bisa ambil beberapa buah kog. Tidak pak ini sudah cukup. Ibu dan ketiga anaknya lalu pergi dan menghilang di antara para pembeli durian yang membludak. Lalu, aku permisi kepada karyawan toserba itu untuk ke toilet.

Ketika sampai di tempat dudukku lagi, aku melihat kerumunan orang yang membeli durian sudah tidak ada. Durian sudah habis terjual. Aku dengan santai berjalan ke pick up. Pasti kaleng blek kopi sudah penuh uang. Aku menyambar kaleng blek kopi itu. Eh… ternyata sepeserpun tak ada. Sebana (= sedih) bukan main. Apa gerangan!  Gumamku. Ternyata ada orang usil, mengganti daftar harga di kertas kardusku dengan kertas kardus lain yang bertuliskan: “Menjelang Natal, Durian ini gratis.” Mak… ai! pikirku. Kog bisa bisanya begini. Kutepuk-tepuk pick up ku, kita apes hari ini. Untuk mengisi tangki bensinmu pun tak ada uang, kataku. Pick up diam membisu.

Aku sudah di dalam mobil dan kunci mobil sudah ku masukkan, siap menstarter dan kembali ke kebun. Sebuah mobil mewah menghampiriku. Seorang satpam bank keluar. Baju putih celana hitam. Di pinggangnya tergantung pistol. Selamat sore pak, katanya sambil memberi hormat. Aku bergeming. Ku lihat si ibu dengan tiga anak yang ku beri durian tadi keluar juga dari mobil itu. Aku bertanya-tanya apa gerangan. Ya, selamat sore, kataku dengan si satpam, sambil bepegangan pada stir pick up. Ibu ini mau bicara pak, kata satpam itu.

Aku membuka pintu mobil dan turun, si ibu dan tiga anaknya mendekatiku. Penampilannya sudah sedikit berbeda. Dan ia datang dengan mobil mewah itu. Aku datang mau menyampaikan berita pak. Berita apa, kataku sambil terbengong-bengong. Sesampai di rumah tadi, durian itu langsung kami buka dan siap-siap disantap. Anak-anak riang gembira. Eh… ternyata leka (= biji durian) itu emas pak, bukan leka durian. Oh… begitukah! Kataku sambil terkejut bukan main. Seorang bos bercelana pendek datang mendekat. Kalau bapak tidak percaya, tadi leka durian saya bawa ke tukang emas. Ini bapaknya. Itu benar emas pak. Sudah saya tes, kata si bos emas itu menyela.

Aku datang untuk mengatakan itu saja pak. Dan minta bapak membagi leka emas itu. Menurutmu bagaimana membaginya? kataku. Ada 20 leka emas, bagaimana kalau setengahnya punya bapak dan setengahnya punya saya? Boleh, kataku.

Si satpam bank itu mengambil koper dari mobil dan menyerahkan kepada si bos. Emasnya sudah saya beli semua pak. Di dalam koper ini uang hasil penjualan emas dan ini bagian bapak. Ku buka koper itu, beratnya sekitar 40 kg. Semua uang lembaran seratus ribu rupiah. Aku berangkat menuju ATM setor CU. Sepulang dari ATM, aku singgah di toserba itu kembali, membeli 1 bungkus indo mie, satu biji telor, dan satu kaleng sarden. Menu makan malamku seistimewa ketika aku masih miskin di kampung.***

Liu Ban Fo

KFS, 19/3/2021