Renungan Singkat Dari Ottawa

Saya menulis ini sebagai ekspresi kecintaan murni saya terhadap CU. CU yang merupakan satu-satunya lembaga Koperasi di Indonesia yang tumbuh secara evolusioner dan mampu berkembang secara swadaya dan mandiri. Renungan ini saya tulis dengan penuh harapan semoga Inkopdit dan GKKI bisa kembali ke roh dan marwah sejatinya.

Perubahan struktural Inkopdit menjadi Koperasi Jasa membuat saya sangat prihatin sebab telah menyimpang dari roh CU yang sejati, terutama dari semangat Ajaran Sosial Gereja (ASG), yang dari sejak awal menjadi fondamen Gerakan CU kita di Indonesia. Apalagi karena perubahan itu terjadi secepat kilat di akhir tahun 2021 melalui perubahan AD Inkopdit yang terkesan terburu-buru. ASG seharusnya menjadi dasar “PENDIDIKAN” sosial-ekonomi yang berkeadilan di Inkopdit (bagi segenap jajaran CU) agar CU tidak mudah terjebak dan terserap oleh kebijakan neo-liberal (kapitalis) yang sedang marak di Indonesia. Kebijakan ini secara jelas memuliakan “jasa-jasa berbasis materialisme dan pragmatisme” (ekonomi pasar), dan para aktivis CU yang masuk di gerakan agak di tengah jalan nampaknya mudah terpancing oleh ekosistem neo-lib ini. Memang angin kebijakan neo-lib yang sedang digenjot pemerintah RI akhir-akhir ini nampaknya telah masuk juga ke dalam tubuh GKKI, sehingga tanpa disadari memicu kemerosotan moral banyak pengurus maupun anggota CU. Ini pada gilirannya menggerus pilar solidaritas dan persatuan.

Dari sejak Konsili Vatikan ke II menjelang berdirinya CUCO, sampai terbitnya ensiklik Paus Fransiskus (Laudato si) saat kini, Gerakan melalui Inkopdit seharusnya menekankan pengembangan kualitas kemanusiaan secara konsisten di dalam CU tanpa mengurangi esensi bisnisnya (yaitu melalui financial literacy, Access Branding, dan sadar lingkungan, demi kesejahteraan keluarga anggota di masa depan) Jadi bukan justru untuk kejar-mengejar pertumbuhan dan perluasan daerah secara kuantitatif dan spekulatif, yang justru melahirkan banyak kelalaian pinjaman dan moral hazard seperti yang kita amati terjadi akhir-akhir ini di tubuh GKKI.

Insan Pus-Pus yang masih konsekuen dengan ASG, dan benar-benar menjalankan Pendidikan Transformatif, saya kira masih bisa menyelamatkan Inkopdit dan GKKI di usianya yang ke-50 ini. Disayangkan bahwa konsep Kop Jasa yang membuat tunggal usaha menjadi serba usaha malah justru melakukan kegiatan spin-in, sehingga mendahulukan pertumbuhan kelembagaannya sendiri daripada pemberdayaan anggota. Kalau tidak cepat dilakukan kegiatan Spin-Off, saya khawatir banyaknya idle money di CU-CU akan dipakai untuk mengejar keuntungan (dan kepuasan materiil) semata, sehingga perlombaan mengejar pertumbuhan kuantitatif justru akan menguntungkan pihak luar (bank, pemerintah, atau perusahaan swasta).

Kondisi demikian akan dengan mudah membuka peluang kongkalikong juga, dan prosesnya hanya akan melemahkan moralitas kepemimpinan CU. Pimpinan/manajemen CU mulai mudah terjerat KUD (ketua untung duluan), dan zona nyaman akan mereka lestarikan. Kondisi seperti ini yang berperan meningkatkan kesenjangan dan ketidaksetaraan struktural, terutama bagi masyarakat tertinggal yang justru membutuhkan CU sejati sebagai lembaga penyelamat yang mereka miliki sendiri.

Saya terus mendoakan agar Loknas dan Ratnas Inkopdit di Tahun Emas 50 ini justru bisa membuka ruang diskusi/perdebatan objektif, tenang dan bermutu, untuk memikirkan masa depan Gerakan melalui strategi jangka panjang dan bukan sekedar perencanaan jangka pendek (5 tahun).

Grand strategy GKKI yang saya tulis di Buku Kecil waktu itu semoga bisa dijadikan referensi untuk membuka ruang berpikir secara visioner untuk pengembangan CU sejati 50 tahun ke depan. Dengan mengembangkan koperasi sektor lainnya melalui spin-off, semoga muncul konglomerasi sosial  yang akan memperkuat akar CU/Inkopdit/GKKI di masa mendatang..

Robby Tulus

18 Juli 2022