Aku telah bolak balik hampir dua kali di jalan Malioboro. Berpapasan dengan banyak sekali orang yang lalu lalang menikmati keistimewaan tempat itu. Hari itu libur, tanggal merah. Suasana sepanas kota khatulistiwa. Aku menyapu pandangan dengan teliti ke sisi kiri kanan jalan. Deretan toko dan kedai. Aku serasa berada di India Street di Kota Kuching, Sarawak, Malaysia. Jadi, siapapun yang ke Jogja pasti ingin ke sini. Malioboro memang terkenal.
Di pinggir jalan Malioboro berjajar pohon asem dan gayam yang rindang. Ketika ku hitung-hitung pohon-pohon itu, pohon asem lebih banyak. Mungkin itulah pohon asam Jawa ya? yang asamnya dapat ditemukan di toko-toko kelontong. Asam jawa telah menjadi bumbu terkenal di negeri ini. Konon, ketika pohon-pohon asem berbuah, pengunjung dapat memetiknya, sekadar untuk merasakan seberapa asam buah itu.
Aku berjalan di bawah satu pohon ke pohon lain agar terhindar dari panas terik yang membakar wajahku, sambil melihat-lihat adakah sesuatu yang menarik yang akan aku bawa pulang sebagai oleh-oleh atau kenang-kenangan. Biasanya aku mencari piring porselin yang berisi lukisan lokal dan nama tempat yang aku kunjungi. Piring porselin itu akan aku pajang di dalam rumahku. Melihat piring-piring seperti itu akan mengingatkanku bahwa aku pernah ke tempat itu. Piring-piring porselin telah berjajar di etalase di rumahku. Kebanyakan nama-nama negara yang pernah ku kunjungi. Asik ya!
Aku mulai sedikit lelah, lalu berhenti di bawah salah satu pohon asem yang rindang. Di bawah pohon itu ada dua buah kursi kayu dan satu meja terbuat dari batu menghadap ke sebuah kedai kopi. Hanya satu kursi yang kosong. Aku duduk di situ. Sebotol air mineral yang telah menipis kuletakkan di atas meja kecil itu.
Aku menikmati suasana di situ sambil sesekali meneguk air mineral. Kedai di depanku memutar lagu kenangan “Bunga Sedap Malam” yang dilantunkan oleh Iis Sugianto. Lagu yang populer sekali pada tahun 1980-an, lagu SMA ku. Ada kenangan gita cinta di SMA pada lagu itu. Aku menikmatinya. Wajah gadis SMA ku menyeruak dalam imajinasiku. Oh… Tuhan, ke manakah kau sekarang? Apakah kau masih hidup? Bisakah kau duduk di sisiku sekarang untuk sesaat saja?
Ingin sekali aku memesan secangkir kopi di kedai yang memutar lagu kenanganku itu. Mungkin menjadi hadiah karena telah membawaku pergi jauh ke masa lalu bersama lagu kenangan itu. Tapi, para pelayan kedai pasti tidak tahu apa isi pikiranku sekarang. Jika mereka tahu, mereka mungkin sudah mendekatiku dan menawarkan minuman dari kedai mereka.
“Boleh aku duduk di sini?” Aku seolah hanya peduli dengan tiktok yang aku tonton. Aku menoleh ke wajah gadis itu. “Boleh, boleh, silahkan.” Ia duduk beberapa centimeter dariku. Bangku panjang itu memang hanya cukup untuk dua orang saja. Cantik, muda, rambut pirangnya panjang. Boleh juga, pikirku.
“Apa kabar mbak?” aku mengulurkan tangan. “Namaku Bilun.” Kami bersalaman. Aku serasa duduk bersama gadis SMA ku. Tapi, aku segera sadar kalau itu hanya ilusi.
“Aku Melani,” katanya. Ia agak malu-malu.
“Mbak penulis ya?” Ku tebak sesukaku saja. Kukira aku dan Melani selisih usia sekitaran 3 sampai 4 tahun. Pastilah aku yang lebih tua.
“Kog tahu?” jawabnya dengan senyuman menyeruak di wajahnya. Ia sedikit menunduk dan beberapa helai rambut pirangnya jatuh menutup matanya. Ia langsung menarik rambut itu.
Tebakkanku ternyata 100% benar. “Mbak pegang buku. Kulihat penulisnya Melani” kataku.
“Ya, aku penulis buku anak-anak.”
“Mbak dari mana?” tanyaku ingin tahu.
“Bandung.”
Pikiranku langsung terbayang kota Bandung, karena aku pernah kuliah di sana. “Ada kegiatan apa di Jogja ini?”
“Ada pertemuan para penulis anak-anak di kota Jogja ini.” Aku ingin tahu tentang gadis itu semakin jauh.
“Mbak hebat,” aku memuji. Setiap orang pasti suka kalau dipuji. Itu membuat kami lebih akrab. “Masih usia muda sudah menjadi penulis.”
“Mas berasal dari mana” tanya mojang periangan itu.
“Pontianak.” Aku membayangkan para mojang periangan banyak yang cantik-cantik kayak Melani ini.
“Mas kayaknya seorang pegiat Credit Union ya, apakah tebakkanku benar?”
“Kog tahu?”
“Ada tulisan Credit Union di baju kaos anda?”
“Benar. Aku sudah lebih dari 10 tahun menjadi pegiat credit union di Kalimantan Barat. Bagaimana kalau kita pindah ke kedai itu dan mencari minuman kesukaan kita?”
Kami lalu beranjak menuju kedai yang hanya berjarak beberapa langkah.
Pelayan datang dengan membawa daftar menu. “Mau minum apa?”
“Aku pesan kopi capucino. Mbak Melani pesan apa?”
“Aku pesan coklat panas.”
“Mau pisang goreng oles keju?” kata pelayan itu lagi.
“Boleh…. Empat potong,” kataku. Tak lama minuman dan pisang goreng sudah di depan kami berdua. Kami cerita panjang lebar tentang dunia kepenulisan. Aku penulis cerpen dan novel. Mungkinkah aku dan Melani saling jatuh cinta? Pikiran liarku mulai unjuk gigi. Tetapi yang jelas, aku dan Melani telah bertukar nomor WA. Mungkin ini pertanda hubungan kami bakal berlanjut. Tapi entahlah.
“Mas … boleh aku tanya sesuatu?”
“Oh… boleh. Tidak akan keberatan. Soal apa mbak?”
“Aku anggota sebuah CU di Bandung. CU itu sudah lama berdiri, anggota sudah banyak demikian juga dengan asetnya. Aku sudah enam tahun menjadi anggota dan tabunganku sudah lumayan besar?”
“Masalahnya apa mbak?” aku memotong pembicaraan tak sabar.
“Itulah. Para anggota tidak dapat menarik tabungan. Katanya CU ini mengalami masalah keuangan.”
“Mbak sudah mencoba datang ke kantor CU itu dan menarik tabungan mbak?” Aku terus ingin tahu.
“Sudah. Dari situlah aku tahu kalau kami sudah tidak dapat menarik tabungan lagi. Aku mempercayakan uangku di CU itu. Kalau tidak dapat ditarik karena CU itu bangkrut, aduh…. Bagaimana ya?” Raut muka Melani menunjukkan tanda-tanda kesal.
Aku sudah membaca beberapa pemberitaan media kalau CU ini, yang berbasis CU paroki mengalami masalah. Kredit macet telah mencapai rasio yang sangat berbahaya, di atas 80%. Gila, pikirku.
“Mas … ini ku kirim file Rilis Media Komite Krisis.”
File itu sudah masuk ke WA ku dan aku membacanya. Kasus ini masuk ranah hukum. Kasihan para anggota.
“Jadi, apa yang harus ku lakukan dengan tabunganku ini ya?” tanya Melani lagi.
Aku diam sejenak. “Aku tidak tahu mbak.”
Aku melihat sebuah mobil berhenti di depan kedai. “Maaf mas, aku harus pergi” kata Melani. “Kami masih ada pertemuan di Hotel pukul enam nanti. Sory ya.” Kami pamitan dan Melani bergegas menuju mobil Grab yang menjemputnya. Bayangan wajah Melani masih terus di kepalaku.
Aku duduk sendirian di kedai itu. Cangkir capucinoku masih setengah dan masih ada satu potong pisang goreng oles keju yang harus ku selesaikan.
Kupikir CU-CU berbasis paroki harus ekstra hati-hati. Kalau salah urus dan bangkrut bisa-bisa karena setetes nilai rusak susu se belanga. Apa artinya itu?
Ku lihat arlojiku, pukul lima sore. Aku segera menghabiskan minuman dan pisang goreng yang tersisa. Lalu aku memanggil Grab dan tak lama kemudian aku sudah sampai di hotel.
Pagi itu aku bangun pukul enam. Pukul setengah tujuh aku turun ke lobi hotel dan menuju resto untuk sarapan. Pukul 07:30 aku kembali ke kamar 428 dan berkemas-kemas untuk kembali ke Pontianak. Pukul 08:27 aku keluar dari lobi hotel, membawa koperku dan menunggu jemputan yang berjanji datang pukul 08:30 menuju Bandara Yogyakarta Kulonprogo.
Aku melihat seorang gadis sedang menunggu jemputan juga. “Hei Melani, ternyata mbak menginap di hotel ini juga ya? Sekarang mau kemana?”
“Ya, mas. Aku menunggu jemputan menuju stasiun kereta api,” katanya. Ia kembali ke Bandung.
Tak sempat basa basi, mobil Grab telah tiba dan koper Melani langsung diangkat driver dan disimpan ke kabin mobil. Ku lihat Melani membuka pintu bagian tengah mobil dan duduk di situ. Mobil itu segera berjalan. Melani membuka kaca cendela, aku mendekatinya. Ia melambaikan tangan. “Apakah tabungan ku di CU masih bisa diselamatkan mas?”
Kalimat terakhir ini membuatku sangat sedih. Aku memandang mobil Melani semakin menjauh dan kemudian menghilang. Kalau tak mampu mengurus dan mengelola CU, sebaiknya jangan menjadi Pengurus atau Manajemen CU, pikirku. Kalau CU bangkrut, anggotalah yang menjadi korbannya.***
Pontianak, 17/6/2024
Munaldus