Kinabalu Tertutup Kabut

Ia seorang anak muda jangkung, kulitnya sedikit hitam. Ia tidak lagi jumblo lantaran sudah punya dua anak yang beranjak dewasa. Kehidupan keluarganya berkecukupan. Isterinya pun tidak menuntut yang macam-macam. Mereka tinggal di sebuah desa yang rukun, tidak jauh dari kantor Credit Union (CU) tempat ia mengabdi.    

Karirnya di CU mulai dari bawah, menanjak setapak demi setapak. Masa kerja di CU itu sudah 16 tahun. Usianya sekarang 32 tahun. Itu artinya sudah separuh hidupnya dihabiskan berkarir di CU. Sebuah pengabdian kepada kaum akar rumput yang amat mulia.  

Ia memiliki otot yang kekar. Genggamannya ketika bersalaman terasa kasar. Jam terbangnya banyak di lapangan, melayani anggota di kampung-kampung dengan akses jalan berkubang. Andalannya adalah sebuah KLX, sepeda motor satu-satunya yang ia miliki. Kalau cuaca tidak bersahabat, tidak jarang ia harus bermalam di pondok ladang orang tanpa sinyal hp dan esok harinya berjam-jam menunggu jalan kering agar si KLX tidak rewel di jalan. Tugas itulah yang mungkin membuat kulitnya tampak hitam dan cengkraman jari-jarinya begitu keras.

Ia bangga dengan pekerjaannya itu sehingga banyak sekali anggota yang mengenalnya, karena keramahtamahannya. Ia disukai siapa saja yang menemuinya. Ia suka bertemu dengan para anggota, melihat kondisi kehidupan mereka, dan mengajak mereka ber-CU agar pada saatnya nanti kehidupan mereka semakin hari semakin baik.

Adalah tipikalnya, tanpa diminta, ia selalu menasehati orang-orang kampung yang ditemuinya agar tidak menjual tanah.  “Jaga tanah bapak, ibu. Tanahlah yang menjadi aset hidup kita. Tanpa tanah, bapak, ibu bisa menjadi kuli di negeri sendiri. Kelak kalau sudah ber-CU, ambil pinjaman, jangan biarkan tanah bapak ibu tidur lelap. Buat tanah-tanah itu produktif agar dapat membuat bapak, ibu, naik kelas secara ekonomi. Utamakan juga pendidikan anak-anak. Warisan terbesar orang tua adalah anak-anak mereka yang terdidik. Anak-anak yang berhasil akan mengharumkan nama orang tua. Jangan abai soal ini. Nanti kami dari CU bantu.”

Siapa saja yang mendengar “kotbah” nya itu merasa tersemangati. Bukan omong kosong. Banyak anggota merasa terbantu dengan kehadiran CU-nya. Ia tidak pernah merasa lelah dengan pekerjaannya itu. Itu memang telah menjadi panggilan hidup.

“Jabu… saya mau bicara,” kata sang ketua CU.

Ia menunduk dan memberi hormat kepada atasannya itu. Sekejab ia melihat arloji di tangannya. Pukul sembilan pagi.   

“Kami akan melantik anda menjadi GM CU kita. Ada tiga target utama yang harus kamu capai buat CU kita ini. Pertama anggota sebanyak 120.000 orang dan aset 1 T pada 31 Desember 2027. Masih ada beberapa target lagi yang nanti akan kita sepakati dalam kontrak kerja sebagai GM. Kedua, CU kita harus melaksanakan spin-out atau pemekaran koperasi demi memaksimalkan pelayanan kepada anggota dan terutama untuk mencapai misi CU kita.

Jadi kamu juga bertanggungjawab agar dua koperasi sektor riil kita, yaitu koperasi konsumsi dan koperasi pertanian mandiri dan mampu mencetak keuntungan. Karena CU sebagai lokomotif gerakan CU kita, maka itu menjadi tanggungjawab seorang GM. Kalau kamu tidak dapat mencapai target itu, kami akan mencari GM baru. Bisa dimengerti?”

Ia mendengarkan dengan seksama ucapan sang ketua. “Beri aku waktu tiga hari pak?”

“Oke lah kalau begitu,” sang ketua lalu pergi.

Jabu tiba di rumah ketika matahari sudah di peraduan. Suasana sudah mulai gelap. Dua anaknya yang baru beranjak dewasa baru pulang dari main bola bersama teman-temannya. Datang bersamaan dengan ayah mereka yang menjadi tulang punggung keluarga. Pakaian anak-anak itu lecak, karena lapangan bola becek habis hujan.

“Cepat mandi kalian,” perintah Jabu kepada kedua anaknya itu. “Habis itu makan!”

Sang isteri sudah menyiapkan makan malam mereka. Menu kampung dengan nasi panas. Tidak lupa menghidangkan sambal terasi.

Butiran terakhir nasi di piring Jabu sudah tuntas dimakan.

“Ma… tadi aku dipanggil ketua,” sejenak ia memandang wajah isterinya yang hampir menghabiskan nasi di piringnya. Sang isteri menatapnya.

“Ada apa?”

“Aku mau dilantik menjadi GM CU. Tapi aku minta waktu tiga hari untuk berpikir. Mama setuju tidak?”

“Terserah papa lah. Tanda-tanda kalau papa bakal menjadi GM sudah ada kan? Coba lihat, dulu dikirim ke pelatihan Supervisor Development Program, SDP, selama dua bulan. Habis itu dikirim lagi ikut SK3, Sekolah Konglomerasi Koperasi dan Kepemimpinan, selama dua bulan juga. Itu investasi yang tidak kecil dari lembaga.”

Jabu mendengarkan. “Jadi mama setuju?”

“Ya, setujulah!”

“Tapi aku akan semakin sibuk lho! Siap?”

“Ya, siaplah.”

Sang isteri tersenyum, lalu mencium sang suami. Ia lalu mengumpulkan piring, sendok, garpu dan lain-lain dan membawanya ke tempat cucian.  Ia mendongak dari tempat cucian piring.

“Kapan dilantik?”

“Dalam minggu ini kalau aku setuju.”

Jabu menerima tawaran pak Ketua. Ia pun siap menandatangani kontrak kerja sebagai GM.

Menjelang tengah hari, dua satpam CU menggiring dua orang masuk ke ruangan Jabu. Ia baru dua hari menjadi GM. “Mereka berdua ini adu jotos tadi pak, waktu rapat. Jadi kami amankan dan minta bapak menyelesaikan masalahnya.” Satpam memberi hormat dan meninggalkan ruangan GM.

Kedua staf itu, seorang staf kredit bernama Leo dan yang satu lagi staf penagihan bernama Sulu yang tempramental,  duduk di depan GM baru ini. Akibat adu jotos, staf kredit bibirnya berdarah, sedangkan staf penagihan mukanya lebam. Pertarungan masih seri, ketika Satpam datang melerai.

Jabu melihat mereka berdua mulai tenang.

“Apa soal kalian berdua ni? Bicaralah…”

“Saya duluan,” Sulu setengah berteriak. “Staf kredit kerja asal-asalan pak. Analisis kredit tidak valid. Gampang buat rekomendasi permohonan kredit “disetujui.” Tambah lagi Komite Kredit tidak cakap. Kalau staf kredit buat rekomendasi setuju atas suatu permohonan kredit, maka komite kredit setuju setuju saja. Pak GM tahu rasio kredit lalai di CU kita di atas 30%. Kami dari tim tagih yang tunggang langgang menagih. Ditambah lagi orang-orang dalam dan keluarganya mudah sekali mendapatkan pinjaman. Yang tidak memiliki kemampuan bayar juga dikabulkan. Letih kami menagihnya pak. Harusnya kita orang dalam memberikan contoh kepada anggota, bukan?”

“Apa pendapat mu Leo?”

“Ini bukan masalah saya saja pak. Ini masalah sistem. Masalah penyaluran kredit dan risiko kredit telah menjadi masalah sistemik di CU kita. Akupun prihatin. Mudah-mudahan bapak sebagai GM baru benar-benar fokus memikirkannya.”

Kedua orang itu curhat sehabis-habisnya. Jabu mendapatkan suatu benang merah atas masalah yang sudah carut marut di CU nya. Dari nada suaranya, pantas pak Ketua rada frustrasi waktu memintaku menjadi GM, pikirnya. Mana SHU terus tergerus akibat kredit lalai yang tinggi. Pun ditambah dengan rasio pinjaman beredar yang rendah. Lengkap sudah. Pada hal satu-satunya sumber income adalah dari pendapatan pinjaman. Ia menenangkan diri. “Ketenangan adalah kekuatan,” pikirnya.

“Kalian berdua saling memaafkan. Iklas?”

Setelah kedua “petarung” itu keluar dari ruangannya, Jabu mengambil dua buku dari tasnya. Buku pertama berjudul TOXIC EMPLOYEE dan yang satu lagi berjudul TOXIC LEADER karangan seorang trainer yang sering melatih mereka, Anthony Dio Martin. Buku-buku itu telah beberapa kali dia baca. Hal-hal penting dalam buku sudah diberi tanda stabilo. Jadi, ia dapat membaca nasihat-nasihat dan ilmu dalam buku-buku itu dengan relatif cepat.

Jabu pergi ke toilet dengan membawa pertanyaan “bagaimana membuat para staf menjadi staf yang produktif dan memiliki rapport atau kedekatan dengan CU khususnya anggota?

Ketika sedang dalam toilet, sesuatu masuk di kepalanya, “kau minta nasehat Hagai.”

“Hagai? Itukan penggagas dan pendiri CU.”

“Ya,” kata pikiran itu. “Kalian mungkin telah melupakannya. Kau tanya mengapa mereka mendirikan CU itu dulu. Jangan melupakan mereka yang sudah berjasa. Roh CU ini ada pada mereka. Toh, Hagai tak pernah neko neko, minta ini minta itu dari CU kan?”.

Sip … ia keluar dari toilet dengan wajah ceria. Ide baru telah muncul dalam imajinasinya.

Ruangan rapat ber-AC di lantai 2 sudah penuh. Semua pengurus, pengawas, penasehat, kadep, Area Manager, Branch Manager dan pemangku jabatan lain telah hadir.

Hagai, rambutnya sudah putih semua, sudah ringkih. Usianya sudah hampir kepala delapan. Untung ia masih mampu naik ke lantai dua tanpa perlu dipapah. Seorang yang masih sering olah raga dengan bekerja di kebun. Ia nampak sehat, cuma pendengarannya saja yang sudah mulai terganggu.

Hagai mulai dengan cerita.

Seorang manusia dan seekor monyet pergi ke suatu tempat menyusuri sungai dengan mendayung. Perahu mereka dari kerak nasi. Si manusia mendayung dari buritan dan si kera duduk di depan dengan dayungnya. Si kera, ketika si manusia lengah sedikit, mengoyak perahu dan memakan kerak itu. Si manusia tahu kelakuan kera itu. Mula-mula ia diam saja. Tetapi, kemudian, si manusia menegurnya.

“Jangan kau coba-coba koyakkan perahu ini dan memakannya. Kita akan celaka.”

Kera diam seolah-olah patuh. Setelah mereka berdua terus mendayung dan melewati beberapa tanjung sungai, si kera kembali ke penyakitnya. Ia mengoyak perahunya lagi lalu pecahan perahu itu dimakannya. Habis itu, si kera mengambil beberapa lagi dan terus mengunyahnya sambil mendayung.

Saking capeknya, si manusia terlelap. Saat itulah si kera terus mengoyak perahu dan akhirnya perahu itu retak dan masuk air. Perahu karam dan mereka berdua mati lemas.

“Jika dikaitkan dengan kemajuan CU kita, silahkan kalian tafsirkan sendiri cerita tadi,” Hagai tidak mau menguraikannya lagi.

“Kalau kalian mau tahu agar CU ini maju, tanamkan benar jati diri koperasi. Dalam jati diri koperasi ada tiga komponen yaitu definisi koperasi, nilai-nilai koperasi dan prinsip-prinsip koperasi. Tanamkan betul kepada segenap aktivis di dalam CU kita. Kehadiran koperasi ada pada Prinsip Ke-7 yaitu kepedulian kepada masyarakat atau sesama. Kalau di CU ini banyak yang mementingkan dirinya sendiri, celakalah CU ini.

Para anggota akan tetap percaya kepada CU kita kalau tata kelolanya bagus. Ada tiga komponen tata kelola yaitu Representasi, Expertise, dan Listening member’s voice. Kalian paham tentang ini kan? Representasi terkait keterlibatan anggota dalam rapat anggota, expertise berkaitan dengan ketrampilan profesional, dan listening member’s voice atau dalam bahasa Indonesianya mendengarkan aspirasi dan kebutuhan para anggota. Jika hal-hal ini kalian laksanakan dengan baik baik, maka kerberlanjutan CU menjadi jaminannya.

Kalian mungkin pernah dengar pesan Alkitab dalam Yakobus 3:16 yang mengatakan bahwa “Sebab dimana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.”

Hagai melihat jam di dinding ruangan. “Aku mau pulang. Ini jam aku beri makan ikan di pondok.” Ia pamit dan langsung ke luar ruangan.

Sopir CU yang akan membawa Hagai pulang seharusnya sudah siap di luar. Kala itu ia masih di toilet. Jabu keluar memastikan sopir menghantar Hagai pulang.

Sopir keluar dari toilet, lalu mencari Hagai. Hagai tidak ada. Mereka mencari kemana-mana di lingkungan kantor CU. Hagai tidak ditemukan juga. Setelah Lima menit mencari, Jabu menelpon keluarga Hagai. Seseorang menjawab kalau Hagai baru saja pergi ke pondok.

Aneh …! Bisa secepat itu?

Esok harinya, Jabu terus berpikir di ruangan kerjanya mencari inspirasi bagaimana mencapai target yang sudah diminta ketua. Ia lalu mengumpulkan enam Kepala Departemen. Mereka berdiskusi.

Alhasil, mereka ber tujuh akan mendaki Gunung Kinabalu di Sabah. Konon, ada satu orang Jepang yang berusia 82 tahun dan orang paling tua yang pernah mendaki gunung Kinabalu, gunung tertinggi di Asia Tenggara. Menurut cerita-cerita di Youtube, orang-orang yang beruntung kalau naik ke puncak gunung itu dapat bertemu dengan si tua Jepang itu. Ia dapat memberikan nasehat atau wejangan atas masalah yang kita temui dalam hidup. Dalam hal ini, Jabu dan kawan-kawannya berniat meminta nasehat agar target-target utama Jabu sebagai GM tercapai.

Tanggal sebelas bulan itu adalah bulan purnama. Ke tujuh aktivis CU yang dipimpin Jabu tiba di Kundasang, kota kecil di kaki gunung Kinabalu. Waktu menunjukkan pukul 17:15. Mereka bermalam di salah satu hotel di Kundasang. Pukul 19:00 mereka keluar dan menuju restoran Cina tidak jauh dari hotel. Mereka menikmati makan malam dengan lahap malam itu. Pukul 21:00 mereka kembali ke hotel.

Tanggal 12 pukul 05:00 pagi mereka meninggalkan Kundasang menuju Taman Nasional Gunung Kinabalu untuk mendaki puncak gunung Kinabalu. Dua jam mereka berada di Taman itu untuk persiapan pendakian, sambil menikmati suasana di situ.

Pukul 09:00 mereka mulai mendaki. Sekarang mereka bertujuh ditemani satu orang tour guide dan dua orang porter. Mereka menjadi pendaki yang penuh semangat dan berharap di puncak nanti akan bertemu dengan si tetua Jepang itu dan daripada-Nya mendapatkan wejangan yang berguna untuk kemajuan CU mereka.

Pukul 09:30 tim ini sampai di Pos 1, Pondok Kandis. Mereka istirahat sekitar 15 menit di pondok ini. Lalu mendaki lagi.

Setelah menempuh perjalanan setengah jam, tim tiba di Pos 2, Pondok Ubah. Waktu menunjukkan pukul 09:45. Sekarang hujan mulai turun. Mereka berteduh di pondok ini menunggu hujan reda. Tapi, hujan tidak kunjung reda. Mereka mengambil mantel dari ransel masing-masing dan mengenakan mantel tipis tembus pandang. Lalu melanjutkan pendakian.

Setelah mendaki satu jam, mereka sampai di Pos 3, Pondok Lowii. Sekarang pukul 11:00. Hujan masih tetap turun lumayan lebat. Mereka istirahat selama 30 menit di pondok ini. Lalu melanjutkan pendakian. Nafas mereka sudah mulai terengah-engah. Hujan dan cuaca dingin mulai tidak bersahabat. 

Mereka tiba di Pos 4, Pondok Mempening, pada pukul 12:00 siang. Hujan masih tetap turun tapi tidak lebat. Mereka istirahat di pondok ini untuk makan siang nasi kotak. Pukul 13:00 mereka mendaki lagi menuju Pos 5.

Pukul 17:00 sore mereka tiba di Kem terakhir bernama Panalaban setelah melewati Pos 5, Pondok Layang Layang dan Pos 6, Pondok Villoso. Butuh waktu empat jam pendakian sampai di Panalaban sehingga total waktu pendakian hari itu adalah sembilan jam. Mereka sangat letih.

Mereka menginap di Kem ini. Ada sejenis asrama di situ. Mereka bertujuh menginap dalam satu kamar dengan dipan bertingkat. Pukul 19:00 makan malam dengan cara prasmanan.

Kembali ke kamar pada pukul 20:00. Suhu mendekati nol derajad. Dua dari mereka demam, satu orang sakit perut, 3 orang demam dan flu, termasuk GM. Hanya satu orang, bernama Bebang, kadep Kredit, yang sehat. Malam itu mereka harus mendaki pukul 02:00 malam dan akan tiba di puncak gunung begitu matahari terbit. Mereka bertujuh masih tetap berharap bisa mendaki tengah malam nanti. Butuh waktu 4 sampai 5 jam untuk sampai ke puncak. Malam itu hujan turun lagi.

Pukul 01:00 malam mereka bangun untuk siap-siap mendaki. Sayangnya lima orang dari mereka masih demam dan semuanya ikut flu. Yang satu orang sakit perut, muntah-muntah dan bolak-balik ke toilet buang air besar. Ia mulai lemah dan tak mungkin mendaki. Akhirnya ketika waktu menunjukkan pukul 02:00, waktu untuk mendaki ke puncak, ke enam orang itu termasuk GM batal mendaki. Hanya Bebang yang nekat naik ke puncak ditemani tour guide nya. Sedang dua orang porter menjaga keenam orang yang sakit itu.

Setelah dua jam mendaki, Bebang sampai di Pos Sayat Sayat. Ia istirahat sekitar 30 menit di situ. Puncak gunung tertutup kabut. Kemudian ia lanjut mendaki. Semakin tinggi ia mendaki, semakin tebal kabutnya.

Pukul 06:20 pagi Bebang tiba di Puncak Gunung Kinabalu sendirian. Puncak itu berada pada ketinggian 4.095 meter di atas permukaan laut. Ia memasang bendera CU nya di puncak itu dengan bantuan tour guide sebagai cameramen. Seandainya tidak ada kabut tebal, betapa indahnya puncak Kinabalu. Bebang merasa letih luar biasa. Kakinya sempat keram dan udara begitu dingin sehingga membuat bibirnya nampak pucat dan mengkerut. Ia duduk di puncak itu diselimuti kabut tebal. Karena waktu tidur yang amat singkat malam itu, ia terlelap sekitar 10 menit.

Pukul 10:00 pagi, Bebang sudah tiba kembali di kem Panalaban. Ia disambut keenam temannya yang belum begitu pulih.

“Bagaimana pendakianmu?” tanya sang GM.

“Apakah kamu bertemu dengan tetua Jepang itu?” tanya kawannya lagi. Yang lain mengajukan pertanyaan lain lagi. Suasana di kamar itu jadi ramai.

“Butuh waktu lima jam mendaki dan satu jam turun. Sangat melelahkan,” kata Bebang. “Andaikan tidak ada kabut tebal, pasti aku bertemu dengan pemandangan yang indah. Saking capeknya, aku sempat terlelap di puncak sekitar 10 menit.

“Terus?”

“Ya, aku bermimpi. Aku bertemu dua sosok tua. Orang yang disebelah kiri, kayak orang Indonesia. Sudah tua, mungkin usianya juga sudah delapan puluhan. Rambutnya sudah putih semua. Tetapi orang tua itu sangat bersemangat. Orang tua itulah yang memperkenalkan kepada ku pak tua Jepang itu. Katanya nama orang Jepang itu adalah Akasuki.”  

“Apa yang diceritakan Akasuki kepadamu?”

“Pak Akasuki memberikan wejangan dalam bahasa Jepang dan pak tua di sampingnya itu menterjemahkannya. Kalian tahu, wejangan pak Akasuki itu sama persis yang disampaikan Hagai tempo hari.”

“Apa? Kog bisa?”

***

Kota Kinabalu, 20/4/2024

Munaldus