AYAH kami bernama “Nerang” di KTPnya. Ada orang yang menulis “Narang”. OK lah. Kata Narang berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti “sinar bulan” atau “secercah cahaya dalam kegelapan”. Konon ada “orang pintar” yang membisikkan agar kakek kami, ayah dari ayah, yang bernama Rayah memberi nama ini untuk bayinya itu.
Markus di depan Narang
Dalam perkembangannya, kata “Narang” sering diucapkan dengan kata “Nerang”, karena lebih mudah dilafalkan, apalagi kalau harus diucapkan cepat-cepat.
Setelah menjadi Katolik, ditambahkan kata “Markus” di depan nama itu sebagai nama baptis, sehingga menjadi “Markus Nerang”, itu yang ditulis di Kartu Tanda Penduduk. Tidak banyak orang yang tahu dan mengenal nama “Nerang”, yang mereka tahu adalah “Rurut”, karena nama itulah nama panggilan sehari- hari.
Kalau ditanya nama “Rurut”, hampir pasti orang sekampung dan sekitarnya tahu dan kenal. Konon nama itu awalnya adalah nama julukan dari teman-temannya ketika masih muda. Suatu saat, ketika mereka sedang menebas lahan untuk ladang, ayah harus menarik-narik dengan sekuat tenaga seutas rotan yang tersangkut di dahan pohon, yang disebut “nge-rurut atau de-rurut” dalam Bahasa Dayak Iban De’sa.
Sejak saat itu ia dipanggil dengan nama “Rurut”. Kata “nge-rurut dan de-rurut” juga dipakai ketika seseorang melepaskan butiran-butiran padi ketan setengah matang saat mau membuat emping atau “pam” dengan menjepit dan menarik butiran-butiran padi ketan dengan kelima jari kita.
Ketika saya baru belajar berbicara dan mulai mengenal orang-orang sekitar, saya tahunya ayah saya bernama Rurut itu, tidak tahu bahwa Ia punya nama lain atau nama resmi yang ditulis seperti di KTP.
Ketika saya masuk SD, ayah tidak mengantar saya ke sekolah tetapi menitipkan saya kepada abang sepupu saya Nicodemus anak Ansik, yang hari- hari kami mengenalnya sebagai “Kedumus”, susah bagi masyarakat kampung menyebut kata “Nicodemus”.
Contoh lain, ada anak di kampung diberi nama baptis oleh Pastor sebagai “Arnoldus”, orang kampung tak mampu menyebut kata dari Bahasa Latin itu, lalu mereka menyebutnya “Renudus” dan dipanggil Bujang “Renu”.
Saya sempat katakan “tidak kenal dengan Renudus atau Bujang “Renu” ketika nenek saya menanyakan keberadaan dia; padahal orang yang dimaksud adalah kakak kelas saya waktu sekolah. Nah, saat ditanya oleh guru kelas ketika pertama kali masuk SD.
“Siapa nama ayah saya”, Bang Kedumus dengan mantap menjawab “Markus Nerang”.
Saya kaget. Ternyata ayah saya yang dipanggil Rurut ada nama lain yang selama ini saya tidak tahu. Bang Kedumus malah tahu dan ia adalah anak dari Julak Ansik, abang dari ayah saya, ia pemimpin agama Katolik di kampung yang lancar baca tulis. Ibu ku bernama In’a (membacanya, bukan Ina atau Inda), Ia anak tuai rumah Panjang Tapang Kemayau, disebut juga Kepala Kampung bernama Adam dan diberi gelar adat “Parang”.
Malam itu, 4 Juni 2012. Ayahku baru saja menonton TV bersama anak cucunya di depan rumah. Sekitar pukul 20.30 WIB ia pamit, mengaku mengantuk dan ingin istirahat. Sekitar setengah jam setelah masuk ke Toko kecil, yang sekaligus menjadi rumahnya, ayah berteriak minta tolong.
Anggota keluarga yang sedang menonton TV di depan warung di pinggir jalan KM 27 arah Sekadau- Sintang itu berhamburan untuk menolongnya, tetapi kios itu sudah dikunci dari dalam dengan cara “disengkar” dengan kayu.
Dengan susah payah Ayah turun dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Namun, begitu ia berhasil membukakan pintu, suara mengaduhnya lenyap. Ayah pingsan. Dan pada malam itu juga ia dilarikan ke RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang. Baru sekitar 20 menit tiba di Rumah Sakit, ayah berpulang dalam usia 74 tahun.
Kami anak-anaknya yang berjumlah 9 orang, 5 perempuan dan 4 laki-laki, beserta menantu dan cucu-cucu sungguh merasa kehilangan sosok lelaki dan ayah yang gigih dan pekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Ibu kami yang telah duluan berpulang 17 tahun sebelumnya atau tepatnya pada 5 Oktober 1996, meninggal dalam usia relatif muda, 59 tahun karena serangan jantung.
Sejak ibu meninggal, ayah tidak pernah mencari pengganti ibu. Ia tipe suami yang setia sampai mati. Pernah dijodohkan dengan seorang janda oleh para sepupunya dan janda itupun siap dipinang, tetapi kemudian ayah membatalkannya.
Ayah dan ibu kami tidak pernah mengenyam bangku sekolah secara formal, sehingga mereka tidak berpendidikan. Mereka hanya pernah ikut Program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) berupa program berhitung, baca dan tulis.
Mereka hanya bisa “sekedar berhitung, membaca dan menulis” yang ringan-ringan. Itulah sebabnya ayah selalu bilang, “kalian anak-anak ayah dan ibu, kelak kalau sudah dewasa tidak boleh memiliki kehidupan yang sama seperti kita saat ini yang serba berkekurangan; jangankan membeli itu-ini, untuk makan hari-hari saja sudah susah. Oleh sebab itu kalian semua harus sekolah yang bagus dan tinggi” tandas ayah, yang juga diamini oleh ibu.
Memang, hampir setiap tahun dari bulan Oktober sampai Januari kami mengalami kekurangan makanan atau paceklik karena stok padi hasil ladang sudah habis dan kami harus beli beras yang harganya nyaris tak terjangkau bila dibandingkan dengan harga karet yang dapat kami jual.
Mata pencaharian orang tua kami adalah berladang dan menyadap karet yang hanya 3 – 4 kg setiap paginya, kalau cuaca baik. Pada musim paceklik itu, tidak jarang kami harus makan singkong yang dicampur dengan sedikit nasi. Sering juga kami harus menahan lapar, sampai hasil sadapan karet pagi itu dijual “basah-basah” ke tempat toke penampung karet kami.
Pesan dan Ajaran Ayah
Ada 4 pesan dan ajaran ayah yang selalu ditanamkan dan diingatkan berulang-ulang kepada kami hal yang berikut ini.
- Pakaian Seragam: seragam kerja kalian nanti harus bersih, harum dan necis besais (bekas lipatan strika). Harus beda dengan “seragam kerja ayah dan ibu saat kerja ladang dan menyadap karet.
- Senjata kerja: Senjata untuk kalian cari nafkah adalah pulpen yang disangkutkan di saku baju dan bawa tas kerja. Beda dengan ayah dan ibu yang senjatanya berupa “parang” atau pisau sadap karet dan wadah berupa “cupai” atau “takin” untuk membawa hasil ladang atau menyadap karet.
- Tempat bekerja: ketika kalian bekerja kalian harus terlindung dari hujan dan panas; beda dengan kami yang kalau hujan kehujanan dan ketika panas kepanasan.
- Kendaraan ke tempat kerja: Ketika kalian menuju ke tempat kerja, hujan tidak kehujanan dan panas tidak kepanasan; selama perjalanan tetap dapat menikmati hiburan.
Ayah 4-M dari Tapang Sambas
Ketika tamat SD, kami beradik lelaki yang terdiri dari 4 orang, semua sempat tinggal di asrama dan sekolah di sekolah Swasta, Biaya sekolah dan asrama kami sering menunggak. Kalau sudah masuk 2 bulan menunggak, maka kami “diusir” pulang untuk ambil ongkos atau membayar tunggakan.
Kalau Ayah tidak ada persediaan uang di rumah atau persediaan karet pun tidak ada, maka kami harus menyadap karet lebih dulu, kadang-kadang terpaksa berminggu-minggu sampai uangnya cukup untuk membayar tunggakan.
Ketika di tingkat SLTA, kami harus sambil kerja, kerja apa saja untuk membantu meringankan beban ayah. Begitu besar pengorbanan Ayah dan ibu agar kami bisa sekolah, kadang- kadang orangtua kami harus menjual apa saja yang dapat dijual sehingga menghasilkan uang untuk biaya sekolah kami.
Pernah sekali ayah piara kambing, sudah ada 3 ekor dengan anaknya, semua harus dilego untuk biaya sekolah kami, sampai-sampai mereka tak sempat menikmati piaraannya; pernah juga ayah harus menjual rangka sepeda yang sudah tidak dipakai, semua dijual untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Ayah tidak pernah jemu memotivasi kami untuk tetap sekolah, sekalipun dalam keadaan serba berkekurangan, bahkan dalam keadaan miskin yang ekstrim, untuk tidak boleh putus sekolah. Ketika harus membayar biaya tunggakan sekolah, maka menyadap karet tidak pernah istirahat, sekalipun malam sebelumnya hari hujan.
Ayah selalu bilang, ”permintaanku pada Tuhan hanya satu, yaitu agar ayah dan ibu terus sehat sehingga bisa mencari uang untuk biaya menyekolahkan kalian”.
Beruntung dan bersyukur: Pendidikan tertinggi
Kami beruntung, karena toke kami yang bernama Apun, seorang Tionghoa di kampung adalah seorang sahabat Ayah yang baik dan peduli. Ia selalu berusaha membantu menyediakan uang yang diperlukan Ayah untuk biaya kami sekolah, bahkan kalau hasil karetnya tidak cukup untuk kami bawa ke Sekadau, maka ayah minta “ngebon” atau berhutang dengan Acek Apun.
Untungnya, Acek Apun percaya kepada Ayah, karena ayah juga selalu berusaha menjaga kepercayaan Acek Apun dengan menjadi pelanggan setia dan disiplin membayar hutang, sekalipun sering harus mencicil.
Syukurlah ketika kami dewasa kami dapat dikatakan berhasil mewujudkan impian ayah dan ibu, khususnya di bidang pendidikan; semua anak- anak tamat SLTA bahkan 2 orang berpendidikan luar negeri, seorang lelaki (M-3) jebolan S-2 dari Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat dan menjadi dosen di Universitas Negeri di Pontianak dan yang bungsu (M-9) perempuan menjadi seorang biarawati Kongregasi Pasionis, berpendidikan Diploma dari Humber College Institute of Technology and Advanced Learning, Toronto, Canada untuk guru PAUD/TK di Toronto, Canada.
Seorang lelaki lagi (M-5) jebolan S-3 Fakultas Ekonomi Untan dan kini menjadi Rektor Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK), sebuah Perguruan Tinggi pertama dan satu-satunya di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Adapun 2 orang lelaki lagi (M-2 dan M-4), walaupun dalam usia yang tidak muda lagi, sekarang sedang menempuh program Pendidikan S-3 di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Palangkaraya.
Saat ini, dari 9 bersaudara, 2 orang sudah berpulang, yaitu M-6 (1997) dan M-1 (2022).***
Dikutip dari Novel “Lelaki Tua dan Pondoknya” (Munaldus, 2024) yang dikarang oleh R. Musa.
10/2/2025
Munaldus