Ini sambungan tulisan bulan lalu. Sesuatu yang menarik untuk dikupas. Andaikan demplot kampung (Village Integrated Demplot) dapat terealisasi, anggota diharapkan dapat sejahtera. Untuk sampai ke sana pasti jalannya panjang. Mengapa? Perubahan itu berjalan lambat.
Seperti yang sudah diwacanakan, tahun depan setiap CU sudah harus membuat pilot project demplot kampung. Khusus untuk CU yang lahir di kampung, demplot kampung mulai dari kampung dimana CU lahir. Sarannya begitu.
Ide awalnya sebenarnya didapat dari Cebu, Pilipina. Ada koperasi kakao yang terkenal di sana. Ceritanya begini. Sebelum wabah Covid, beberapa aktivis CU belajar ke koperasi kakao di Cebu. Mereka berkunjung ke satu kepala keluarga yang hidup sejahtera di lahan satu hektar. Rumah keluarga ini di dalam lahan. Rumahnya bagus, punya mobil dan anak-anak kuliah. Dicari-cari sebabnya adalah berkat lahan itu yang menjadi lahan sangat produktif.
Di lahan satu hektar itu, ada 500 pohon kakao (satu hektar lahan bisa ditanam 1.100 pohon kakao). Di batas lahan satu hektar ditanam kelapa. Diantara pohon-pohon kakao ditanam pisang, jahe, dan sayur-sayuran. Di dekat rumah ada kolam ikan, ternak ayam kampung, dan ayam petelor. Jadi, di lahan satu hektar itu layaknya supermarket alam. Sumber makanan dan arus kas keluarga itu berasal dari lahan itu.
Nah, mengapa hal di atas tidak ditiru? Toh, rata-rata keluarga CU yang tinggal di kampung punya tanah yang masih luas. Pihak CU harus memberikan dukungan dan pendampingan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin keluarga-keluarga CU di kampung, yang benar-benar ber CU, akan sejahtera.
Kenyataan sampai hari ini pemberdayaan anggota masih lemah. Layanan anggota masih “hit and run” atau istilah kampung, “hidup syukur mati dah.”
Suatu hari seorang anggota yang sudah renta, berdiri di depan kantor CU, lalu berkata “kantor CU memang megah, tapi kami masih tetap miskin.” Kritik yang benar-benar pedas kepada para PPS CU.
Memang terasa ada ketimpangan (gap) antara kehidupan anggota dan PPS (Pengurus, Pengawas, Staf). Kehidupan PPS mungkin lebih makmur. Apakah kita membiarkan ketimpangan ini terus terjadi? Kalau begitu inisiatif apa yang harus dibuat?
Tidak lain, inisiatif yang lebih fokus dan terkonsentrasi pada pemberdayaan anggota harus dijalankan. Banyak sumber daya CU harus dikerahkan untuk membuat “sebanyak mungkin anggota sejahtera.” Kita telah belajar dari sejarah berdirinya CU di Jerman, ber-CU dengan sungguh-sungguh, anggota dapat sejahtera.
Pengembangan demplot kampung haruslah dimulai dengan pendidikan agar terjadi perbaikan pola pikir. Mengutip pandangan F. W. Raiffeisen “kemiskinan adalah akibat cara berpikir yang keliru.” Memiliki pola pikir maju (growth mindset) jaminan keberhasilan pembangunan kampung melalui program ini.
Inisiatif demplot kampung akan berhasil apabila pengorganisasian masyarakat dilakukan secara berkualitas dan konsisten. Sebelum anggota terorganisir, niscaya program itu akan berhasil. Pengorganisasian harus melahirkan kesadaran baru. Dari sinilah implementasi demplot kampung dapat dimulai.
Jadi, mirip dengan mendirikan kantor cabang atau kantor TP, melaksanakan program demplot kampung tidak jauh berbeda: Sosialisasi, Pengorganisasian, Pendidikan Anggota dan kemudian Implementasi.***
Munaldus
Founder Puskhat