Goesan Natural Dream Park di Korea – Simbol Suprioritas Koperasi

Setelah berkunjung ke Goesan Dream Park, Korea Selatan, (foto di bawah) pada 13-19 Nopember 2023 lalu, yang dibimbing oleh mentor dan orang tua kami, Pak Robby Tulus, kekaguman saya pada karya i-Coop belum lagi pudar.

Bagaimana bisa dalam tempo 30 tahun, I-Coop, sebuah gerakan koperasi konsumen, dapat berpartisipasi membangun daerah pedalaman Korea secara mengagumkan.

Saya membayangkan ada CU di Indonesia yang paling tua berdiri pada awal 1970, seperti yang dipos di WAG CU, tidak terdengar kiprahnya. Bahkan menjadi topik perdebatan, mana CU yang paling tua yang masih eksis sampai sekarang? Ada di Pulau Jawa atau di NTT? Ramai-ramai bicara sejarah. Mengapa dunia tidak mengenal mereka. Apa sebabnya? Apakah para penggerak atau pionir berpikir kecil? Small … that is enough!

Wilayah pedalaman yang I-Coop bangun, menurut Prof. Seungkwon Jang, PhD, dosen Department of  Management of Co-operarives, Sungkonghoe University, Seoul, adalah daerah yang kurang diperhatikan oleh pemerintah.  Perlu diketahui juga, karya i-Coop tidak hanya di Goesan, tapi masih ada di tiga lokasi dengan kualitas hampir setara. I-Coop lahir pada 1997 karena ada keprihatinan. Pas pada saat itu dunia sedang mengalami krisis moneter. Selain itu, menurut pejelasan Ahyoung Kim, PhD, i-Coop lahir karena merespon fakta bahwa 5% penduduk Korea terkena kanker. Jadi, memang lahirnya i-Coop karena adanya kebutuhan (member-need) dan keprihatinan. Kedua hal itu diselesaikan dengan cara saling tolong menolong (cooperation).

“Apa yang anda lihat di Goesan Dream Park?” tanya Prof. Seungkwon, di ruang rapat di kampus Sungkonghoe University ketika kami usai mengunjungi Goesan Natural Dream Park. Saya langsung menjawab “amazing.” Dan saya menanyakan kepada Prof itu: “Siapa pemikir besar sehingga i-Coop bisa sebesar itu dalam kurun waktu 30 tahun?” Kata Prof itu lagi, banyak orang menunjuk kepada seorang pendiri yang masih eksis sampai sekarang, dia adalah Sin, Sung Sik (barisan belakang diapit pak Masiun dan Pak Robby Tulus), pria kurus yang sudah beranjak lansia. Beliaulah arsiteknya, kata Prof. Seungkwon Jang.

Bagaimana lintasan (trajectory) i-Coop bisa sebesar itu dan kiprahnya mendunia? Prof. Seungkwon Jang, PhD dan Ahyoung Kim, PhD sama-sama memaparkan seperti berikut:

Pertanyaan saya selanjutnya, usai studi banding, bagaimana menduplikasi sehingga kiprah gerakan koperasi kita kelak bisa sehebat i-Coop?

            Dalam Gerakan Keling Kumang (GKK) yang telah serius menerapkan spin-out, ada gambaran bagaimana menduplikasi apa yang dikerjakan i-Coop, sebab semua sumber daya sudah tersedia, cuma belum optimal dan terarah. Kekuatannya pada kualitas berpikir para aktivis GKK dan anggota CU dan anggota KSR. Benih seperti di GKK juga sudah ada di Gerakan Semandang Jaya, itu yang saya lihat.

Dari paparan para narasumber di i-Coop, juga dari Prof. Seungkwon Jang, PhD, penerapan dan penjiwaan jati diri koperasi memang harus kuat. Pertanyaan, apakah penanaman jati diri koperasi (definisi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi) sudah menjadi darah daging di dalam diri para aktivis dan anggota CU dan KSR? Rasanya belum. Pada umumnya, anggota masih belum bisa membedakan antara entitas CU dan bank. Sama saja, kata mereka. Lalu apa yang salah? Kualitas pendidikan harus ditingkatkan.

I-Coop ditopang oleh think tank di i-Coop Institute, kalau kita baca dari paparan mereka. Saya berharap di Gerakan CU dan KSR di bawah Puskhat, think tanknya ada di SK3 (Sekolah Konglomerasi Koperasi dan Kepemimpinan) yang akan dimulai tahun ini. Semoga!

Ketika saya diskusi dengan Jang Roto tentang membangun kota koperasi di Kalimantan Barat, Suroto menanggapi bahwa kota koperasi yang dibangun oleh i-Coop bentuknya enclave. Itu harus dikaji ulang oleh kita. Apakah itu mungkin? Mengapa tidak kota koperasi terintegrasi dengan kota yang sudah ada? Misalnya sebagai ujicoba kota Sekadau atau Sintang menjadi kota koperasinya Keling Kumang. Menarik. Lalu aku mencoba menarasikannya seperti ini:

Sebuah bintang di angkasa, tak terhitung jauhnya, memandang ke bumi pada waktu bumi sedang gelap malam. Dia sangat penasaran karena di bumi ada dua bercak cahaya terang benderang bak dua galaksi berdekatan Saking penasaran, sang bintang itu mengamati berkas cahaya itu selama tujuh malam berturut-turut untuk mengetahui apakah posisi bercak cahaya itu berpindah-pindah atau tidak. Pada malam terakhir, ternyata kedua bercak cahaya itu selalu di sana. Sekali lagi, sang bintang sangat penasaran.

Sang bintang mencari no hp bumi. Ia menemukannya di internet. Lalu menghubungi sang bumi. “Halo bumi … tujuh malam berturut-turut aku melihat bercak cahaya terang benderang berdekatan di permukaanmu. Dan itu selalu di sana. Apa itu? Bisa kasi tahu aku?

“Kamu baru tahu? Kasihan deh lho…” jawab bumi sambil bercanda. “Ya dong… Penasaran aku. Kasi tahulah,” jawab sang bintang. “Ini saya kasi tahu,” kata bumi. Itu cahaya lampu raksasa. Lampu seperti itu hanya ada di kedua tempat itu di muka bumi ini. Cahaya terang itu di kota Sekadau dan Sintang. Itu adalah tempat-tempat dimana Gerakan Keling Kumang berkarya. Dua kota itu mereka sebut kota koperasi, kotanya Keling Kumang. Jelas?”

Sang bintang kirim emoji: 

1/4/2024 Munaldus